dua

72 9 1
                                    

[Nina]

Aduh, ada telepon. Mana pas banget baru pakai masker, lagi.

Angkasa. Sudah kuduga.

"Na," panggilnya saat aku mengangkat telepon.

"Iya?" Sahutku.

"Gue ngungsi ke tempat lo, ya?" Pintanya.

"Ya udah. Tumben?" Tanyaku.

"Kangen aja," jawabnya.

"Najis," aku menanggapi bercanda. Terdengar suara kekehan dari ujung telepon lainnya.

"Biarin. Ya udah, jalan, ya. Mau dibawain apa?" Wah, tumben Asa pakai tanya dulu, biasanya suka-suka dia.

"Martabak tipker keju deket rumah lo," tak mau rugi, aku memanfaatkan kesempatan. Dari tadi mau martabak, tapi mager.

"Siap," jawabnya. Loh, beneran? Emang rezeki gak ke mana.

"Permisi, atas nama Nyonya Langit Ariana Teduh?" Asa pura-pura menjadi kurir online. Kelakuan.

"Dih, sejak kapan nama gue ada Teduh-nya?" Tanyaku balik. Asa tertawa.

"Loh, kamu kan istri aku..." jawabnya.

"Gue injek lu," tanggapku sambil memutar bola mata, ketularan Asa.

"Galak banget sih, sayang," godanya.

"Istri, istri, emang sanggup lo biayain gue?" Tanyaku sewot.

"Tinggal sogok pake kopi enak sama martabak, gampang," tukasnya. Aku menghela napas. Terserah dia, deh. Angkasa puas melihatku sebal.

Kami memakan martabak tipkernya bersama. Angkasa bawa dua! Dia lagi banyak duit, baru gajian, katanya. Aku sih, tidak komplain.

[Angkasa]

Anak ini, makan sendiri tapi porsinya satu RT. Masih pakai masker, lagi, makannya. Heran, kok ada manusia seajaib ini, ya? Makin ajaib lagi ketika dia tiba-tiba mencuci tangan padahal belum selesai makan. Wah, bau-baunya bahaya, nih.

"Sa, maskeran ya!" Ujarnya semangat. Tuh, kan, aku jadi bahan eksperimen lagi.

"Duh Naa, gue males pakenya," jawabku.

"Gue yang pakein, gue yang bersihin, lo tinggal terima jadi. Kemarin gue liat masker ini di swalayan, terus gatau kayaknya bakal bagus buat lo?" Nina menyerocos panjang. Aduh, ini sih gak mungkin ditolak. Tapi gak apa-apa, hitung-hitung perawatan.

"Ya udah, deh," jawabku akhirnya. Nina bersorak girang. Bahagia banget, sih, ini orang.

Selesai maskeran, Nina masih sibuk berceloteh soal ini-itu. Aku terdiam.

"Iya Saa, ngakak banget gak, sih? Gak jelas banget, motivasinya apa coba?" Selorohnya sambil tertawa puas.

"Ih, Sa, kok diem?" Tanyanya. Aku menghela napas.

"Na, gue mau pergi!" Tanggapku, setengah bersemangat, setengah berpikir keras.

"Asyik, dong! Mau ke mana emang?" Tanyanya.

"Rahasia! Tapi gue janji, gue bakal bawain oleh-oleh. Clue-nya pantai. Pasti lo suka," jawabku.

"Kok tiba-tiba, Sa?" Nina bertanya lagi.

"Enggak, udah rencana dari tahun lalu, tapi gue kira gak jadi," ujarku sekenanya, masih sibuk sendiri dengan pikiranku.

"Berapa lama?" Nina seperti tak bisa berhenti bertanya. Aku menghela napas panjang. Ini pertanyaan yang dari tadi gue hindari, batinku.

"Belum tahu," jawabku akhirnya. Entah perasaanku saja atau bagaimana, tapi aku melihat raut kecewa di wajah Nina. Raut itu hanya bertahan beberapa detik, lalu tergantikan dengan raut bahagianya. Nina berusaha bahagia untukku, padahal jelas-jelas baru kemarin dia memintaku menemaninya untuk seminggu ke depan. Nina kesepian.

Berat rasanya meninggalkan Nina sendiri di saat seperti ini, tapi bagaimana? Rencana sudah tersusun tadi pagi, teman-teman baru mengabari soal tiket dan hal-hal lain setelah dibooking. Tidak mungkin dibatalkan, tiketnya tidak murah untuk kantong mahasiswa.

Terlarut dalam lamunan membuatku diam sedikit terlalu lama. Tanpa sadar, Nina sudah terlelap di sebelahku.

"Maafin gue, Na," bisikku sembari mengecup keningnya lalu menggendongnya ke tempat tidur.

Kasihan Nina, kudiamkan terlalu lama hingga tertidur di sofa. Aku rebah di sofa, mengistirahatkan diri. Berusaha masuk ke alam mimpi, tapi tak berhasil. Rasa bersalah membuatku terjaga malam ini.

—Claire
#clairewrites

Langit Angkasa SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang