tiga

96 10 2
                                    

[Nina]

Angkasa berangkat kemarin, pukul 10 pagi. Dia pergi tanpa memberitahuku tujuannya. Was-was? Sudah dari kemarin-kemarin. Panik? Tidak usah ditanya. Entah kenapa, rasanya berat membiarkannya pergi. Sebab aku ingin dia tinggal, dan entah kenapa kali ini keinginan itu sangat kuat dan membuatku resah. Tapi aku tidak boleh egois. Hidupnya bukan cuma tentangku, bukan cuma untuk menemaniku tiap kesepian atau mengurusi aku yang seringkali cengeng dan selalu mengeluh tentang apapun yang bisa dikeluhkan. Aku harus mandiri.

Mandiri.

Kata yang terasa pahit di lidah, tak menyenangkan di telinga.

Aku mandiri. Selalu mandiri, sebab jika tidak, aku kacau. Hidupku berantakan. Siapa lagi yang akan mengurusiku jika aku tidak mau mengurus diriku sendiri? Ibu? Ibu terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Ayah? Ayahpun sama. Bahkan saat aku memutuskan untuk tinggal sendiri, mereka tidak berusaha mencegahku. "Ya udah, toh kamu juga udah kuliah," kata Ibu waktu itu.

Getir.

Seumur hidupku, tidak ada yang benar-benar menginginkan keberadaanku. Mereka membiarkanku pergi begitu saja, bahkan di saat aku ingin tinggal. Yang mereka tak pernah mengerti adalah, aku hanya ingin dicegah. Aku hanya ingin diminta tinggal, untuk sekali. Tapi tidak pernah. Tidak sekalipun. Aku cuma figuran di hidup mereka.

Sejak itu, aku belajar menyayangi diriku sendiri. Aku mencegah diriku untuk menyerah. Aku menguatkan diri untuk bertahan, sebab aku percaya, semua perjuanganku tidak akan sia-sia. Aku ingin membuktikan kepada mereka, bahwa aku bisa menjadi pemeran utama dalam hidupku sendiri, tanpa perlu memohon peran di kehidupan mereka. Aku tak butuh diinginkan oleh mereka.

Keberadaanku tidak pernah betul-betul diinginkan.
Tidak sampai aku bertemu Angkasa, seseorang yang sempat jadi temanku, lagi.
Angkasa datang (kembali) ke hidupku di saat yang tepat, saat untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menginginkan sosok teman. Bukan berarti aku tidak punya. Aku punya banyak, tapi jarang yang benar-benar mengerti—bisa dihitung dengan jari. Kami bertemu di sosial media saat kelas 3 SMA, masa-masa frustrasiku, lalu kami masuk ke kampus yang sama—kampus impian kami. Sejak saat itu, hampir tak ada hari yang kuhabiskan tanpanya. Angkasa adalah pendengar yang baik. Kelewat baik hingga dia begitu banyak berkorban untukku. Entah harus bersyukur atau malu karena aku selalu merepotkannya.

"Sa, kangen." Aku mengetikkannya pada chat room kami.

Ah, geli. Baru sehari.

Kuhapus lagi.

"Sa, gimana kemarin? Pasti seru ya!"

Delivered.

"Sa"

"Sa ke mana sih"

"Kok lo ga ada kabar deh"

Delivered.

"Sa"

"Angkasa"

"Lo ke mana sih?"

"Sa jawab kenapa"

Delivered.

"Sa"

"Angkasa Teduh"

"Asa

"Mas Asa"

"Ibu sms gue. Nanyain lo. Katanya lo gak ada kabar. Lo gimana sih, Sa? Nyokap lo aja gak lo kabarin."

"Angkasa"

"Demi Tuhan angkat telepon gue Asa"

Delivered.

"Angkasa"

"Lo ke mana sih?"

"Sa gue takut"

"Sa jawab dong"

Delivered.

"Asa, udah seminggu lo gak ada kabar. Lo kenapa sih? Benci sama gue?"

"Lo udah gamau ngomong lagi ya sama gue?"

"Lo baca aja enggak, Sa."

Delivered.

"Hari kedelapan. Masih gak ada kabar juga?"

Delivered.

"Sembilan. Belum ada kabar juga."

"Yaudah, terserah lo aja. Baik-baik."

Delivered.

"10 hari Sa."

"It takes 21 days to break a habit. Lo mau membiasakan gue tanpa lo, ya?"

"Are you leaving?"

"At least let me know."

Pending.

Apa, pending?

Gue harus apa, Sa? Kasih tau gue...

"Sebelas. Angka favorit lo, kan? Semoga mood lo baik hari ini."

"Bales dong, Sa. Gue gak tenang."

Delivered.

Read.

DIBACA! ANGKASA BACA PESANKU!

Angkasa is typing...

"NINAAAAA!!!"

"Kangen ya?"

"Maaf ya, gak bales. Gak ada sinyal, wifi juga susah. Terus mau pake wifi yang bayar, mahal. Mendingan buat beliin lo oleh-oleh."

"Besok gue pulang. Gue bawain oleh-oleh, banyak. Jemput ya!"

AKHIRNYA!!!!

"Jahat lo sama gue."

"Yaudah, iya. Jam berapa?"

Delivered.

Read.

Angkasa is typing...

"Dua siang. Terminal 1."

"Siap bos."

Aku menghela napas panjang. Menangis. Aku takut. Takut sekali ada hal buruk yang terjadi padanya. Hampir dua minggu ini aku tak bisa makan, hanya bisa merenung dan tiba-tiba menangis. Aku takut. Tapi syukurlah, Angkasa baik-baik saja.

"Sa, andaikan lo tau kalo oleh-oleh itu gak penting. Gue cuma mau tau kabar lo, biar makan gue enak, tidur gue nyenyak, kopi dan rokok gue gak cepet abis—karena gue tau lo baik-baik aja walaupun gue gak di sana buat ngomelin lo. Gue cuma minta itu aja. Oh, satu lagi. Gue cuma mau lo pulang dengan selamat. Itu aja, Sa, gak lebih..."

Deleted.

"Anjing lo:("

Sent.

—Claire
#clairewrites

Langit Angkasa SeriesOnde histórias criam vida. Descubra agora