EMPATPULUHTUJUH : LOST

9.4K 571 53
                                    

Dokter membuka penutup mata Abel. Kemarin Abel sudah menjalani operasi. Ada seseorang yang sudah mendonorkan matanya untuk Abel. Entah siapa, yang jelas Abel sangat berterimakasih atasnya.

Abel terus tersenyum. Kini ia dapat kembali melihat Fajar, Davin, Melati dan orang lain yang Abel sayang. Jangan lupakan hujan yang telah menemani Abel membuat kenangan bersama Fajar. Sebentar lagi Abel akan melihat air itu turun ke bumi menetes secara bersamaan. Untuk hujan kali ini, Abel juga akan mengajak Davin untuk menikmati setiap tetes air hujan yang turun. Dalam benak Abel banyak sekali rencananya bersenang-senang bersama orang yang ia sayang.

Penutup mata Abel mulai terlepas. Perlahan mata Abel menerima sedikit demi sedikit cahaya. Pelan-pelan Abel membuka matanya. Mata Abel kini mercermati sekitarnya.

Satu per satu orang yang berada di dalam ruang rawat Abel, Abel cermati. Fajar, Rere, Melati, Disha, Dewi, dan Wijaya. Davin? Oh, mungkin Davin di ruang rawat.

Semua tersenyum kepada Abel. Terlebih Fajar yang kini sudah menggenggam tangan Abel. Fajar tampak bahagia tapi di sisi lain sepertinya Fajar tengah bersedih. Sorot mata Fajar yang biasanya menatap tajam kini berubah sendu. Seperti ada luka yang tersembunyi dalam tatapnya.

"Abel! Akhirnya lo sembuh" ucap Melati seraya memeluk Abel.

Abel membalas pelukan Melati. "Alhamdulilah. Ada seseorang yang hatinya kayak malaikat, mau donorin mata buat gue. Siapa pun itu, makasih banget"

Rere dan Disha juga ikut memeluk Abel. "Abel kita, rindu Abel". Jadilah mereka bertiga seperti teletubies.

Wijaya dan Dewi tersenyum melihat anaknya yang kembali dengan wajah cerianya. Seperti Abella Agatha yang dulu. Pecicilan, bego, dan nyolot.

Abel menatap kedua orang tua nya. "Makasih Ma, Pa udah mau nungguin aku sampai sembuh"

Wijaya dan Dewi mengangguk mengiyakan kata Abel. Di depan Abel kini mereka semua terlihat bahagia dengan topeng masing-masing. Sedangkan di sisi lain, mereka merasakan kehilangan. Seseorang yang begitu dekat, bahkan menjadi teman mereka telah pergi dengan ketenangannya.

Fajar berdeham. "Abel, bisa ngomong berdua?"

Abel menengok ke arah Fajar lalu menganggukan kepalanya. Abel mengurai pelukannya yang seperti teletubies. Senyum merekah tak terhapus dari bibir mereka. Seolah, semua baik.

"Yaudah kita kasih waktu Abel sama Fajar berduaan" ajak Dewi. Mereka yang ada diruangan Abel pun keluar, kecuali Fajar.

Ketika semua orang sudah diluar, Fajar mendekat kepada Abel. Diraihnya tangan mungil Abel. Fajar mencium tangan Abel dan itu membuat pipi Abel merona. Fajar menatap lekat Abel. Abel yang dilihat begitu lekat oleh Fajar memalingkan wajahnya, salah tingkah.

Abel menghela napasnya. "Fajar lihatinnya biasa aja dong!"

Fajar terkekeh. "Selamat atas kesembuhannya sayang"

"Kita belum jadian"

Fajar menangkup wajah Abel dengan kedua tangannya. "Yaudah deh, would you be my girlfriend?"

"Apaan, nggak ada romantisnya sama sekali" cibir Abel.

Fajar tersenyum miring. "Belum di bagian romantisnya"

"Halah"

"Coba lihat gue deh, Bel"

Abel kini menatap Fajar. Tanpa Abel sadari bibir Fajar menempel di bibirnya secepat kilat. "Itu bagian romantisnya. Hebat ya gue?"

Pipi Abel bersemu. "Hebat apaan! Fajar goblok!"

"Omongannya dijaga! Cewek gue gak boleh ngomong kasar. Sekali lagi ngomong kasar, gue kiss sampe kehabisan napas baru tau rasa" ancam Fajar.

"Dih, dasar lo mesum"

"Bodo! Yang penting sekarang Abel pacarnya Fajar"

Abel mendengus kesal tapi hatinya senang.

Hening, tiada cakap lagi diantara mereka. Sibuk dan larut dengan pikiran masing-masing. Yang terdengar hanya suara derap langkah dan percakapan dari luar ruang rawat Abel.

"Pengen ketemu Davin" celetuk Abel yang membuat dada Fajar sesak.

"Bel," Fajar menghela napasnya. "Gue gak mungkin nutupin ini karena suatu saat lo juga bakal tau"

Abel menatap Fajar menunggu kalimat selanjutnya.

"Orang yang donorin mata ke lo itu adalah, Davin" jelas Fajar dengan suara serak.

Abel menggelengkan kepalanya. "Bercanda'kan?" Mata Abel kini berkaca-kaca.

Fajar langsung mendekap Abel. "Gue gak bercanda. Davin udah tenang. Dia lagi istirahat karena capek menjalani kerasnya dunia. Dia udah bahagia disana"

Abel mencengkeram kaos yang dikenakan Fajar. "Davin nggak bakal ninggalin gue!"

Fajar menahan sesak di dadanya. "Davin emang nggak pergi. Dia selalu bersama lo. Dengan adanya anggota tubuh Davin di tubuh lo, sama aja Davin bakal nemenin lo. Dia nggak biarin lo sendiri"

Abel masih menangis di dada Fajar. Lo tepatin janji lo, Vin. Sekalipun itu dalam mimpi. Lo bilang, lo gak ninggalin gue. Lo ada di bersama gue. Iya emang bener, tapi bukan gini caranya. Abel tambah sesak ketika batinnya berucap.

"Sssttt... Jangan nangis. Jangan bikin orang sekitar lo tambah sedih" Fajar mengelus rambut Abel.

Dibalik pintu, Melati dan kedua orang tuanya mengintip, menatap Abel dengan mata berkaca-kaca. Baru saja satu kebahagiaan muncul, datang secara bersamaan kesedihan itu. Melintasi sebuah senyum yang kini telah diganti tangis.

Abel masih terisak. Kenapa lo pergi disaat gue merasa hidup gue hampir sempurna?









Hampir end:'( vote HBL terus ya biar cepet dilirik penerbit:')

Hate but Love Where stories live. Discover now