I'm Pregnant, Idiot.

5K 537 108
                                    

Manusia punya kebiasaan aneh. Cendrung mengingat sesuatu yang negatif dan mengabaikan hal positif dalam hidupnya. Walaupun perbandingan jumlahnya adalah 3:1, tetap saja 1 yang kecil itu lebih berpengaruh.

Aku tidak menyalahkan jika banyak yang seperti itu. Itu normal. Aku juga begitu soalnya. Walaupun guru meditasiku di YouTube mengatakan, 'Stay Positive'. But Screw him. He doesn't know I have mentally unstable girlfriend who I love so much.

I deserve to be salty sometimes.

Jadi diantara segudang hari-hari penuh bunga, pelangi dan kuda pony yang kulalui dengan Fee. Ada satu hari yang sempat mengguncangku dan masih kuingat dengan sangat jelas hingga saat ini.

Hari saat aku tahu kalau Fee menanggung beban berupa monster besar yang hanya bisa dilihat oleh dirinya, yang suatu ketika akan muncul dan membuatnya sedih sementara aku bingung harus bagaimana. Saat itu rasanya otakku mendadak beku, melihat Fee yang menangis di ranjangnya, meringkuk dan sesenggukan. Masih memakai baju tidur sementara hari sudah petang.

Gadis itu tidak mau merespons perkataanku, tidak mau beranjak dari tempat tidur, seolah tidak ada yang bisa menyelamatkannya dari kesedihannya. Waktu terasa sangat lambat waktu itu. Bingung, dan panik menghampiri pikiranku sampai akhirnya kuputuskan untuk menelpon kakaknya.

Itu merupakan hari yang menakutkan sekaligus yang tidak terlupakan dalam hidupku.

Jadi ketika perasaan deja vu itu muncul, setelah Fee yang menolak membuka pintu hingga aku perlu mengambil kunci cadangan di bawah keset. Dan ketika aku memanggilnya, tidak ada sahutan apapun, bisa kau bayangkan bagaimana paniknya aku.

"Fee... kau dimana? Fee!" aku berjalan ke dapur, kamar mandi, hingga berakhir di kamarnya.

Tadinya kukira dia juga tidak ada di kamar, karena yang terlihat hanya gundukan absurd bergulung di ranjang dan berbalut selimut.

Aku bahkan perlu memicingkan mata sebentar, berpikir, hingga akhirnya sadar kalau itu Fee yang masih berkalut, mengubur kepalanya ke dalam selimut.

Jantungku mulai berdebar tidak karuan, memikirkan kemungkinan kondisi Fee saat ini.

"Fee.." panggilku sekali lagi, duduk di tepi ranjangnya. Pelan-pelan menyentuh selimut yang dia pakai untuk menutupi wajahnya."Sayang."

Tanganku mulai menarik selimut itu darinya yang buru-buru dia tahan.

"Fee, kau baik-baik saja?"

Perlahan wajahnya terlihat, sementara matanya yang sembab menatap garang. "Berisik, Sam."

Keningku mulai mengkerut, "Hei... kau menangis ya?" tanyaku khawatir.

"Aku tidak menangis, siapa bilang." Dia berkilah, lalu menoleh ke arah lain dan memunggungiku.

Tanpa sepengetahuan Fee, aku menghela napas lega. Aku lebih tahan dan siap mental untuk menghadapi Fee yang brutal dengan mood jungkir balik ketika dia PMS, daripada Fee yang diam saja tidak menanggapi seperti hari mengerikan itu.

"Oke... sekarang apa lagi salahku?"kutarik bahunya untuk kembali menghadap ke arahku.

"Minggir Sammy, aku masih mau tidur." Katanya merengek. Mencoba melepaskan diri dari pegangan tanganku.

"Kau marah?"

"Tidak." Jawabnya cepat.

"Yakin?"

Fee hanya bergumam, lalu menarik kembali selimut dan menutupi wajahnya.

"Fee..."

"Berisik." Dia menggerutu lalu berbalik memunggungiku.

"Baiklah. Aku sarapan sendiri saja kalau begitu. Nanti kubelikan sesuatu untukmu." Kataku dan bangkit dari kasur. Belum sempat aku jalan, cibiran 'Si brengsek yang tidak punya perasaan.' terdengar dari balik selimut.

DestinyWhere stories live. Discover now