Chapter II: Should I Give Up?

11.8K 795 190
                                    

A Naruto Fanfic

Sasuke U. & Sakura H.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Genre: Romance/Family/Complicated

.

.

.

—Chapter I : Your Home.—

.

PerformaDevelopment, Konoha City. Apr, 01 - 17.

Jam di dinding sudah menunjuk pada pukul tujuh malam. Detik-detik jarum jam terdengar begitu jelas, kencang, menggema di satu ruangan seolah memberi tanda tak lagi ada kehidupan di sini--di ruang kerja Sakura. Tidak peduli pada langit yang kian gelap, rintik hujan yang menambah keheningan, wanita itu masih tetap berada disana. Di kursi hitam yang ia putar menghadap ke jendela, menatap hujan yang tak kunjung reda. Belakangan ia jadi enggan untuk pulang ke rumah. Meski di dalam hatinya, ia menyesal telah menelantarkan suaminya.

"Apa yang aku pikirkan?" Katanya entah pada siapa, lalu tertawa.

Ya, apa yang dia pikirkan? Kenapa dia harus merasa bersalah? Bukankah setiap hari ia memasak, dan suaminya akan selalu pulang dalam keadaan sudah makan? Lalu apa fungsinya di rumah? Bukankah suaminya itu lebih suka jika ia tak berada disana?. Ah, lagi dan lagi seperti ini. Sakura akhirnya hanya akan menangisi yang sudah-sudah.

"Kami-sama, apa yang harus ku lakukan? Apakah aku berdosa?" Tanyanya sendiri.

Sakura membayangkannya lagi. Detik dimana ia memasak, detik dimana ia terlelap, detik dimana ia mengurus semua keperluan Sasuke, dan detik dimana ia begitu tulus mencintai Sasuke. Tapi, lihat sekarang. Apa yang ia dapat? Ketika ia memasak, tak satupun disentuh olehnya. Sekarang pun dirinya menjadi ragu, kemana kah bekal yang ia berikan pada suaminya selama ini? Ketika ia begitu banyak memberi, kenapa ia malah menemukan Sasuke tertidur dengan Hinata di ranjangnya? Kenapa?.

"Sakura, kau belum pulang?"

Suara Gaara membuyarkan lamunannya, membuatnya memaksa berhenti menangis. Ia memutar kursi, lalu menatap Gaara yang masih berdiri di ambang pintu. Ah, sial! Air matanya turun lagi, dan Sakura tidak suka jika seseorang memergokinya menangis. Gaara menutup pintu, lalu berjalan tergesa-gesa menghampirinya, berlutut untuk menyesuaikan tinggi tubuhnya. Kedua tangan kekar Gaara menghapus jejak-jejak air mata di pipinya, membuat Sakura tak lagi bisa menahan semuanya. Ia menangis, menangis sejadi-jadinya dan memeluk Gaara dengan erat. Ia butuh pelukan, ia butuh Gaara karena baginya Gaara adalah sahabat baiknya. Gaara akan selalu tahu kondisinya tanpa harus bertanya.

"Sst...tenanglah...tenang. Jangan menangis, semua akan baik-baik saja."

Sakura melepas pelukannya, "Bagaimana bisa kau mengatakan semuanya akan baik-baik saja, sementara rumah tanggaku berada di ujung tanduk?!" Ia memukul bahu Gaara, melampiaskan semua amarahnya disana.

Gaara paham, ia menarik napasnya dan menggenggam erat tangan Sakura, "Kau harus percaya pada doa dan harapan. Aku berharap semua akan baik-baik saja, dan kau harus meyakini harapan itu. Karena ketika kau meyakini harapan dan doamu, akan selalu ada jalan untuk menggapainya."

Sakura menengadah pada langit yang masih hujan, "Jelas aku kehilangan harapanku...hiks...ketika aku mencoba untuk membangun rasa yakinku...hiks...aku malah menemukannya bercumbu dengan wanita lain. Aku ini sudah mati, Gaara! Aku sudah mati!"

It Ain't MeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora