Stigma||01|

13.2K 594 21
                                    

Angkasa seakan bersedih. Warna biru dan awan putih tengah sembunyi yang terlihat hanya gumpalan awan pekat dan sorot gelap diatas sana. Guntur sesekali memperdengarkan suaranya, sedikit menambah cekamnya suasana. Dan tak lama, angkasa menumpahkan tangisnya.

Saat rungu menangkap suara air beradu dengan tanah, terasa menenangkan. Langkah kaki kecil terus terpacu, menghampiri sebuah jendela disana.

Binar mata bahagia terpancar, tetes air yang jatuh menimpa tanah terlihat sangat indah dimata. Menakjubkan. Jari-jari mungil lumayan gemuk perlahan terulur menyentuh permukaan kaca pemisah dengan air yang menempel disana.

Semakin deras hujan turun, semakin banyak pula butiran air yang menempel di permukaan kaca. Mata hitam bulat kian bulat, disana binar bahagia kembali terpancar lebih besar dari sebelumnya.

Bermain, penasaran, tergoda ingin mencoba. Rasa itu yang timbul pada jiwa bocah ingusan yang kini tengah berdiri terpaku didepan jendela menatap tetes derasnya air hujan. Kaki pendek sedikit berisi kembali melangkah pada sebuah pintu kayu yang tengah terbuka. Dan kini, tidak ada penghalang untuk melihat bahkan menyentuh tetesan air.

Suara hati bocah seakan mendorongnya lebih jauh. Buktinya, tubuh kecil lumayan berisi telah basah dibawah guyuran hujan. Kaki pendeknya terus melangkah, berlari kecil. Lengan kecilnya membentang di kedua sisi, sesekali mengadah dan menyeka air yang mengenai wajah dan matanya. Dia sedang bermain hujan.

Tawa riang tanpa beban sesekali keluar dari mulut mungil sang bocah. Tanah basah bernama lumpur mengotori sebagian kakinya. Dia tidak peduli itu. Yang dia inginkan hanyalah merasakan bermain dibawah guyuran air hujan.

Dan disana, disudut lain. Ada sosok kecil tengah memandang sosok kecil lain yang tengah bahagia dengan dunianya bersama hujan. Dia hanya diam memperhatikan, tidak ada niatan untuk ikut bergabung. Sesekali bibirnya terbuka, namun kemudian kembali tertutup. Seakan enggan untuk berucap.

"Levin!!" bibir mungil itu akhirnya berseru. Sedikit berteriak menarik perhatian sang lawan.

Buntelan basah pemilik nama hanya menoleh sekilas dan kembali pada dunianya tanpa peduli dengan si pemanggil.

Tidak menyerah, teriakan kembali terdengar dari arah pintu rumah.
"Levin. Ayo masuk, jangan main air hujan terus nanti sakit!"

Dia, si bocah suka hujan itu adalah aku. Levin.

Dan dia, sosok kecil lain yang berdiri disamping pintu dan terus berteriak itu adalah kakak kembar ku. Kevin.
Kami terlahir hanya selang waktu 5 menit.

"LEVIN!!!"

"Aku tidak mau, kamu tau ini sungguh menyenangkan.  Kamu harus mencobanya!"

"Aku tidak mau. Nanti mama marah vin, ayolah jangan main hujan terus!"

"Oh ayolah, sini main sama Levin sama hujan. Kamu akan menyesal tidak ikut bermain Kev"

Aku menghampiri Kevin, menarik tangannya agar dia bermain hujan bersamaku. Dengan susah payah Kevin mencoba melepaskan tanganku yang menggenggam tangannya namun usaha Kevin semuanya sia-sia, karena kekuatan fisik Kevin jauh lebih lemah dariku. Pada akhirnyapun Kevin ikut bermain hujan bersamaku, sesekali tawanya juga terdengar.

**
Sudah pasti, akhirnya mama memarahi kami, lebih tepatnya diriku yang telah menyeret Kevin bermain bersamaku di bawah guyuran air hujan.

Bukan hal baru lagi, saat mentari sembunyi berganti dengan bulan yang menemani gelapnya malam, mama sibuk memeluk dan membisikkan kalimat penyemangat untuk Kevin. Sedangkan papa, beliau bolak-balik dari dapur ke kamar mengganti air hangat untuk kompresan Kevin yang sepertinya kembali terserang demam.

Sedangkan diriku sendiri, diam diatas sofa depan televisi. Entah karena kami kembar atau apa, tapi kami sering merasakan apa yang dirasakan kembaran kami. Kata orang telepati namanya. Dan diamnya diriku sejak tadi adalah berusaha mengurangi rasa nyeri yang sedari tadi menyerang kepalaku. Tubuh kecil ini juga merasa udara disekitar menjadi panas sekali. Kurasa, sama seperti yang dirasakan Kevin.

"Pa, panasnya tidak turun-turun dari tadi"suara mama terdengar lirih sarat akan kekhawatiran.

"Kita bawa ke rumah sakit saja. Papa siapin mobil dulu"

Papa keluar dari kamar kami, mengusap surai hitam ku pelan lalu menuju garasi. Tak berselang lama, mama juga keluar dengan Kevin di gendongannya.

"Mama mau kemana?" tanyaku dengan suara serak

"Kerumah sakit. Kevin demam"

"Levin ikut ma" gelengan pelan kuterima dari mama. Dia tidak ingin aku ikut.

"Maa... Levin ikut ma. Levin sendirian nanti" baiklah, aku mulai merengek sekarang. Aku ingin ikut, aku takut sendirian dirumah. Oh, ayolah aku masih bocah SD yang suka parnoan apalagi kalau habis nonton atau dengar cerita horor.

"Tidak Levin. Kamu dirumah saja, kak Kevin butuh mama papa. Kamu jaga rumah besok papa jemput kamu" lagi, aku ditolak. Kehadiranku seakan memang tidak diharapkan. Mama tetap kekeh ingin aku dirumah sendirian.

Tak tahukah dia bahwa anaknya bukan hanya Kevin tapi juga aku, kondisi kami juga sebenarnya tidak jauh berbeda, meskipun kelihatannya aku lebih sehat.

"Mama berangkat dulu" setelah mengatakan itu mama masuk kedalam mobil bersama Kevin dan papa, meninggalkan diriku yang mulai sedikit ketakutan bersama kesunyian malam.

Sebenarnya, dirumah besar ini tentu saja ada asisten rumah tangga yang membantu mama mengurus rumah. Tapi, mereka akan pulang kerumah masing-masing setelah jam makan malam.

Mobil yang mereka tumpangi sudah tidak lagi terlihat. Ku kunci semua akses masuk kedalam rumah, menyalakan hampir semua lampu yang ada dan menyalakan kembali tv yang tadi sempat kumatikan, mengeraskan volume suaranya. Aku berusaha memejamkan mata, mengabaikan rasa pening serta nyeri yang belum kunjung hilang dan ketakutan yang tiba-tiba menyerang.

Ngomong-ngomong, tidak mungkin kan tagihan listrik seketika membengkak hanya  karena kelakuanku yang menghidupkan tv serta lampu berlebihan dalam semalam saja. Toh, kalaupun iya kan yang membayar papa kenapa harus ikut memikirkannya;).

***

Halo readernim!!...
Terimakasih telah mampir dilapak saya dan menyempatkan diri membaca cerita ini.

Jangan lupa tinggalkan jejak ya!!

Klik gambar ⭐ di pojok kiri, dan tinggalkan komentar. Gratis kok.

Apresiasi kalian adalah dukungan terbesar saya.

STIGMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang