Prologue

1.3K 92 6
                                    

::Prologue::

.0.

.

.

.

Pria itu menatap langit malam. Matanya mengatakan bahwa keadaan tidak akan berubah menjadi lebih baik. Lautan manusia berkumpul di bawah kakinya, seperti barisan pasukan semut merayap di atas bumi. Semuanya begitu terkendali berdasarkan sistem—terkontrol.

Dia bersiul—memainkan lagu The Killers—terpaku dalam mengamati situasi yang membuatnya risih. Tidak berbeda jauh dengan tempat tinggalnya di utara, kecuali suara klakson kendaraan dan makian yang terdengar lebih sering berkumandang di depan rumahnya. Terlalu akrab untuk didengar telinganya.

Pria itu berdecak mengejek, pada hal terkotor yang sudah bosan dilihatnya. Perbuatan manusia adalah hal yang dibencinya. Terutama pada alam. Udara dan tanah, air juga makhluk hidup lainnya. Karena pria itu berasal dari salah satunya—alam liar beserta kemurniannya. Insting. Satu-satunya yang bisa diandalkan untuk bertahan hidup, juga memangsa.

Kehidupan tidak pernah menjadi lebih adil hanya dengan uang ataupun kedudukan tertinggi untuk diraih. Kekejamannya selalu merambat seperti benalu, berakar dan bertumbuh tanpa jeda. Lalu, apa yang bisa dilakukan pihak tersudut? Duduk diam dan menutup mata? Jelas itu tidak akan dilakukannya—maupun sebagai pilihan terakhir.

"Haruskah aku melakukan ini? Lihat bagaimana mereka berjalan! Memuakkan," gerutu pria itu, berdiri di bangunan pencakar langit seorang diri.

Tubuhnya membungkuk—berjongkok—sementara matanya memicing tajam dan menyala di kegelapan malam. Bulan meneranginya. Si anak bulan.

Pria itu merogoh saku belakang celana jeans-nya, mengambil selembar kertas yang sudah bertekstur tidak rapi karena perbuatannya. Tersegel rapat, berbanding terbalik dengan tulisan tangan yang tertera di sana. Terlalu buruk untuk dilihat.

"Apa yang ditulisnya ini?" Si pria mengerutkan dahinya, yang awalnya memang sudah berkerut dalam.

Angin musim semi memanggilnya, menajamkan indera penciumannya. Udara kotor akan asap kendaraan juga limbah pabrik. Tidak ada yang lebih buruk dari ini. Pria itu mengernyit, ketika semua hal itu masuk ke dalam sistem tubuhnya.

"Kota ini benar-benar kotor!" Matanya kembali terpaku pada jalanan terpadat di tengah Tokyo. "Pernahkah mereka berpikir untuk istirahat sehari saja? Manusia lemah yang berpura-pura tangguh—menggelikan."

Bulan menunjukkan posisi terbaiknya, tidak terhalang oleh awan dan langit malam. Terang dan bercahaya. Menunjukkan jalan kepada siapa yang tersesat. Kepada si anak bulan.

Pria itu menunduk dan menegangkan punggungnya, memperlihatkan lekukan tulang dan otot tercetak di balik kaos longgarnya. Seringaiannya tertarik ke belakang, menunjukkan bahwa mulutnya terlihat lebih lebar daripada kelihatannya. Kukunya menggores beton bangunan yang diinjaknya, menciptakan goresan tajam seperti cakaran harimau liar. Pria itu tertawa—ataukah menangis? Lolongannya terdengar dan teredam dalam keramaian malam. Memanggil yang terlupakan. Jauh di perbatasan dunia, dimana hati manusia normal tidak akan pernah bisa melihat juga merasakan.

Tiba-tiba instingnya bergerak cepat, menangkap sesuatu yang terlewatkan di bawah sana. Ketajamannya menusuk dada juga mempercepat adrenalin di dalam aliran darahnya. Warisan dari leluhur, tidak akan pernah bisa dipadamkan. Tertanam seperti sebuah tanda lahir. Panasnya meredam keraguan, tapi menyulutkan amarah. Berbahaya.

Pria itu merasakannya, hanya berjarak beberapa kaki dari tempatnya berdiri. Bau yang tidak sedap dan dibencinya seumur hidup. Bercampur halus dengan darah manusia dan peluh dinginnya. Telinganya menangkap suara itu, di antara kekacauan suara mesin juga kata-kata. Rintihan kesakitan juga ketidakberdayaan.

Dia tertawa getir, menepuk-nepuk sepatu boots-nya yang sedikit berdebu sebelum bangkit berdiri. Gravitasi selalu bisa menariknya ke bawah, puluhan meter dari atas tanah. Kekokohan dirinya hampir menyerupai dinding batu. Kepalan tangan yang meremas surat yang digenggamnya kuat-kuat.

Pria itu kembali tersadar dan memasukkan kembali suratnya ke dalam saku celananya. Dia terancam akan amukan Sang Alpha, bila tidak melakukan perintah yang diturunkan untuknya. Hidungnya mendengus, begitu mengingat wajah Sang Alpha dalam benaknya.

"Orang tua itu," cibirnya, turun dari undakan batas loteng. Rantai kalung di lehernya berbunyi gemerincing, setiap kali kakinya mengambil hentakan langkah terlalu keras. "Sekarang bukan waktunya untuk menjadi seorang pahlawan. Tapi—bau ini membuatku muak."

Terlalu gegabah sudah mendarah daging dalam dirinya. Tidak bisa dikontrol, bahkan saat dia berlari dan melompat ke atap bangunan di sampingnya. Kakinya berlari cepat, seperti seorang parkour handal dan sudah menghafal medannya dalam berkali-kali latihan. Tapi, lagi-lagi insting yang dipegang kuat olehnya. Melawan tamparan angin keras di wajah juga tubuhnya. Rambut terangnya tertiup angin, seperti penanda perang akan terjadi.

"Let's kick some ass!"

Tangannya mencengkram ujung kaosnya dan menyingkapnya dalam sekali tarikan. Kemudian berganti pada ikat pinggang juga celana jeans-nya. Sepatu boots-nya terlempar ke sembarang arah, ketika amukannya terbangun kuat. Menarik otot-ototnya.

Suara gemeretak juga tarikan daging segar terdengar memilukan. Ketika tubuhnya menunduk dan kulitnya memerah—hitam. Matanya terbelalak lebar, membuat irisnya menjadi semakin besar dan terang. Mulutnya terbuka lebar, tidak ada suara yang keluar. Hanya giginya yang menajam menjadi taring yang sedikit menekuk. Tubuhnya terjun bebas ke bawah, menyambut kegelapan jalan di samping bangunan yang terpencil juga mencari keadilan menurut persepsinya sendiri. Selama bulan masih menerangi dirinya, dia tidak akan berhenti dari jalan yang sudah ditapakinya.

~0*0~

.0.

.

.

.

.

.

.

.

::The Dark Legacy— First Quarter::

By: Morning Eagle

Disclaimer :: Bleach belong to Kubo Tite ::

Just to warn you all :: AU, OOC, Misstypos...for this story

.

.

.

Author's note:

Fic yang kutulis di fanfiction, masih berlanjut saat prolog dirilis di sini. Note, ini ku publish ulang untuk platform wattpad. Happy reading! ^^

The Dark Legacy: First Quarter | BLEACH; IR {Book 1}Where stories live. Discover now