Part 2

142K 3.6K 31
                                    

Setelah sarapan, kami berempat menuju ke rumah Omah yang tidak jauh dari kediaman kami. Dalam perjalanan, beberapa kali Bian melemparkan candaan kecil yang membuat suasana mobil menjadi ramai.

Dalam waktu dua puluh menit, akhirnya kami semua sampai di depan pekarangan rumah milik Omah. Aku tersenyum lebar saat mendapati Omah yang sudah berdiri di depan pintu untuk menyambut kedatangan kami.

"Omah!"

Aku berlari keluar dari mobil, menghambur ke dalam pelukan Omah.

Omah mengecup keningku sayang. Garis wajahnya yang sudah menua memberikan ekspresi hangat padaku, ia tersenyum teduh. "Hai, cucu kesayangan Omah. Bagaimana kabarmu?" tanyanya sembari mengurai pelukan.

Aku memberikan cengiran lebar. "Kabar baik, Omah. Bagaimana dengan kabar Omah?" tanyaku sembari melingkarkan tanganku pada lengannya. "Aku kangen," lanjutku sembari memberikan mimik wajah manja yang selalu aku tunjukkan jika sudah bersama Omah.

Omah terkekeh, memperlihatkan kerutan di wajahnya yang sudah menua. "Omah baik-baik saja, Sayang. Mari masuk, kita temui Opah yang sudah menunggu di dalam."

Aku mengangguk. Tak lama, Bunda datang dan langsung mencium pipi Omah. "Hai, Mam, apa kabar?" tanya Bunda.

Omah mengulurkan tangannya dan menepuk bahu Bunda pelan. "Mama baik, Zahra. Bagaimana kabarmu?" Omah balik bertanya, namun pandangannya teralihkan ke balik tubuh Bunda. "Ah, kenapa John dan Bian seperi pinang dibelah dua? Mereka begitu mirip dari segi mana pun," lanjut Omah sembari terkekeh pelan.

Aku mengikuti pandangan Omah, tertawa pelan saat melihat Ayah dan Bian yang sedang berjalan beriringan mendekat ke arah kami. Memang keduanya sangat mirip, Bian seperti Ayah saat muda.

"Hai, Mam," sapa Ayah sembari memeluk Omah saat ia sudah berdiri di hadapannya. Ayah melepaskan pelukannya, bergantian dengan Bian yang kini memeluk Omah singkat.

"Sudah, yuk, kita masuk. Rob sudah menunggu kedatangan kalian sejak tadi," ucap Omah sembari berbalik.

Kami melangkah masuk ke dalam, aku berjalan paling depan, menunjukkan antusiasku bertemu dengan Rob—yang tak lain adalah Opah.

"Opah!" aku dan Bian berseru secara bersamaan saat mendapati Opah yang sedang duduk di ruang tamu sembari membaca buku.

Opah mendongak, memberikan senyuman hangatnya. "Sella, Bian? Kemari, Sayang, peluk Opah," katanya yang langsung aku sambut dengan larian kecil dan memeluk Opah. Bian menyusul, merangkul Opah dari sisi kirinya.

Bian melepaskan pelukannya lebih dahulu, aku pun mengikuti setelahnya. "Opah bagaimana kabarnya?" tanya Bian seraya mengambil posisi duduk di hadapan Opah, sedang aku memilih untuk duduk di sisinya.

"Baik, Bian. Bagaimana keadaanmu dan kuliahmu?"

"Bian sehat, Opah. Kuliah juga berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan apapun," jelas Bian.

Opah mengangguk paham. Pandangannya kini teralih padaku yang berada di sisinya. "Bagaimana denganmu, Sella? Sekolahmu, apakah ada hambatan?" tanyanya.

"Sella baik, Opah. Untuk sekolah, aku akan menghadapi ujian untuk kelulusan minggu depan. Tolong doakan Sella agar lancar semuanya ya, Opah," kataku.

"Tentu saja, Opah akan mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua. Kelak saat kalian sukses, kalian bisa membantu perusahaan Ayah kalian," ucap Opah sembari mengelus puncak kepalaku.

Aku mengangguk. Aku dan Bian sendiri sudah berapa kali mendengar pembicaraan Ayah dan Bunda yang ingin sekali kami masuk ke dalam lingkup bisnis yang Ayah jalani. Tapi Ayah dan Bunda tidak ingin memaksakan kehendak mereka.

Orangtua kami memberikan kesempatan untuk memilih apakah aku dan Bian akan ikut andil menjalani perusahaan yang sudah Ayah rintis dari nol hingga menjadi perusahaan besar seperti saat ini, atau justru kami berdua memiliki keinginan lain untuk masa depan kami.

Tentu saja aku dan Bian ingin membahagiakan kedua orangtua kami, dan jawabanku dengan Bian pun sama—kami bersedia terjun ke dalam bisnis yang Ayah jalani, sekalipun suatu saat nanti kami ingin mencoba hal lain, Ayah tidak masalah. Yang terpenting adalah, kami masih berada dalam tanggungjawab kami.

Ah, jika membicarakan hal ini, tidak akan ada habisnya. Lebih baik, kita beralih ke lain hal.

Aku dan Bian memilih untuk bermalas-malasan di ruang keluarga saat Omah, Opah, dan kedua orangtuaku mulai membicarakan soal bisnis yang mereka jalani.

Aku melirik Bian yang kini sedang asik dengan gawai di tangannya.

"Bang," panggilku sembari menyenggol lengannya pelan.

"Hm,"

Aku mendengus. Sudah menjadi hal yang biasa jika Bian tidak akan menoleh saat dipanggil atau diajak berbicara jika ia sudah sibuk dengan gawainya. Terkadang, ingin sekali aku mengusili dirinya dengan menarik gawainya secara tiba-tiba, tapi aku tahu itu akan membuatnya marah dan aku tidak mau melakukannya.

"Gue bosen," ucapku pada Bian yang masih sibuk dengan gawainya.

Sebenarnya, aku juga bisa menyibukan diriku dengan gawai milikku. Tapi aku ini mudah bosan. Tak ada hal yang menarik dalam gawai kecuali game dan chat bersama teman-teman.

"Ya ... kalau lo bosen main lah," ucap Bian tanpa mengalihkan pandangannya padaku.

Aku mendelik sebal. Untung Abang, kalau bukan udah aku buang ke laut!

"Tau ah!" aku bangkit dari posisiku. "Mending gue makan es krim," kataku sembari melangkah menuju dapur.

"Mauuuu!" Bian berteriak cepat, membuat aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku menghadapnya.

"Bilang yang benar dulu coba," godaku pada Bian.

Bian mengernyit, ekspresinya tampak bingung—tentu saja, sekalipun ia bingung, matanya tak lepas memandangi gawai. Aku rasa sebentar lagi bola matanya akan keluar dari tempatnya, lihat saja.

"Dek, gue mau es krim juga dong," ucap Bian setelah beberapa detik terdiam—masih dengan mata yang tak menatap ke arahku, tentunya.

Aku bersidekap. "Kalau ngomong itu, lihat orangnya, jangan ngelihatin layar hp mulu. Copot tu mata lama-lama!" ketusku.

Bian yang mendengar perkataanku, tertawa. Ia akhirnya mau mengalihkan pandangannya dari gawai kepada diriku, memandangku lucu. "Lo kira mata gue bisa lepas-pasang?" katanya geli. Ia berdeham pelan sebelum melanjutkan ucapannya. "Adekku yang cantik, tolong ambilin es krim juga dong ... gue mau yang rasa cokelat," lanjutnya—berkata dengan nada manis yang membuatku ingin sekali muntah.

"Jijik!" seruku sebelum akhirnya pergi menuju dapur untuk mengambil es krim—meninggalkan Bian yang sedang terbahak karena berhasil menggodaku.

Kadang, keberadaan Bian memang sangat membantuku—dari segi apapun, dia adalah Abang yang baik. Hanya saja, aku tidak tahan jika kelakuan laknatnya sedang muncul seperti saat ini.

Ingin rasanya aku membuang Bian ke kali, tapi pasti Ayah dan Bunda akan mencarinya, dan lagi aku tidak ingin menjadi pembunuh hanya karena Bian yang tidak bisa berenang itu tenggelam di kali.

Jadi, lebih baik aku diam—oh, jika perlu aku menyumpah serapah pada dirinya seperti biasa jika aku sudah benar-benar kesal dengan tingkah lakunya yang kadang menjengkelkan itu. []

Beautiful DisasterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang