Tiga hari Kana demam.
Hari minggu, dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Sayangnya aktivitas Kana yang biasa itu hanya mengurung diri di kamar. Nonton anime, atau main game saja.
Arlan lagi-lagi mampir ke rumah. Cowok itu tiduran di kasur Kana ketika siempunya telungkup sambil bertopang dagu. Keduanya nonton dalam diam. Kana mengembuskan napas panjang.
"Kenapa, Na?" Arlan menoleh. Menatap sahabatnya heran.
"Gue, sapu, ngepel, masak. Hasilnya ampe demam tiga hari."
"Itu gara-gara lo jarang gerak." Arlan duduk bersila. "Jadinya pas badan lo diforsir berlebihan, lo langsung tepar."
"Kayaknya emang iya."
"Apa pelajaran yang lo ambil dari kejadian kemarin?"
"Gue..." Kana menggumam, "gak bakalan pernah beres-beres lagi."
"Olahraga, oy!"
Kana berdecak. Mana mau dia melakukan tindakan semerepotkan itu?
Diam sejenak. Kana berkata, "Gue udah dapet royalti. Setengahnya udah gue transfer ke elo kayak biasa."
"Padahal gak usah." Arlan duduk. Dia menepuk puncak kepala Kana. "Royalti itu hasil lo nulis novel, kan? Jerih payah lo sendiri. Seenggaknya, cuma nulis yang lo lakuin pake niat."
"Gak terlalu capek soalnya." Kana ikut duduk. Mereka bersisian. "Anggap aja ucapan terima kasih karena lo udah ngerawat gue selama ini. Yang kali ini lumayan gede hasilnya."
"Berapa?"
"Ngh ..." Kana berpikir. "Masing-masing kita dapet sepuluh juta."
Arlan tersedak air liurnya sendiri. Setelah bertahun-tahun menjadi penulis, ini pertama kalinya semua tulisan absurd Kana menghasilkan rupiah sebanyak itu.
Tetap Kana bagi dua dengannya lagi tanpa pikir panjang.
"Na, kalo sebanyak itu gak usah. Lo pasti punya hal yang mau lo beli, kan?"
"Donat."
"Selain donat maksud gue."
Kana berkedip. Dia berpikir beberapa lama, "Kuota?"
"Selain itu juga tentunya. Coba lo pikirin."
"Ribet."
"Lo jadi manusia niat gak gak, sih?"
"Gue berharap lahir jadi batu aja biar gak perlu banyak gerak." Kana lagi-lagi mengembuskan napas kasar. "Kenapa gue jadi manusia, ya?"
"Sebagai sesama manusia, gue anggap lo produk gagal, Na." Arlan merasa miris. Sikap Kana yang tidak punya gairah hidup sama sekali, selalu membuat Arlan khawatir. "Lo gak bisa kayak gini terus."
Kana bergeming. Dia tersenyum kecil lalu turun dari kasur. Dia melompat-lompat, istirahat. Lalu lari di tempat.
"Sekarang sehari gue lari satu menit di rumah. Setelah gue pikir-pikir, belakangan ini kalo 24 jam nonton anime badan gue jadi gampang pegel."
"Iyalah. Waktu lo abis buat sesuatu yang unfaedah banget, ya?" Arlan tidak habis pikir. Kana tidak menyahut, fokus berhitung dengan napasnya yang kian putus-putus.
Sampai di hitungan ke enam puluh. Kana banjir keringat. Dia duduk, berusaha mengatur napas yang memburu.
Padahal dia cuma lari semenit.
"Tapi gue gak nyangka juga lo mau olahraga kayak gini." Arlan bangga. Dia menepuki puncak kepala Kana. "Hm. Seenggaknya kalo rutin lo gak bakalan demam lagi gara-gara nyapu doang."
"Hm." Kana mengangguk. "Kalo suatu hari nanti lo gak jadiin gue istri kesekian, atau pun ngadopsi gue jadi anak angkat. Seenggaknya-"
Kana tersenyum manis. Membuat Arlan tercenung.
"Gue bisa hidup sendiri dan gak jadi benalu buat lo lagi."
Kana ...
Arlan tidak tahu harus bicara apa? Karena jarang bereaksi, emosinya terlalu sulit ditebak.
Tapi ternyata seperti yang Arlan pikirkan.
Ucapan Selly dan teman-temannya, meninggalkan luka yang cukup dalam.
"Na ..." Arlan memanggil. "Seenggaknya, sampe lo punya cowok yang tulus sayang sama lo, gue pasti selalu jagain lo kok."
Kana diam. Dia mengangguk lalu mengukir senyuman manis, "Iya. Mungkin gak lama lagi, gue bisa dapet pacar."
Gantian. Kali ini giliran Arlan yang membungkam.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
FRIENDSHIT (TAMAT)
General FictionPINDAH KE APLIKASI FIZZO Hanya kehidupan sehari-hari tentang Kana, cewek super pemales yang tidak mau melakukan semua hal karena dianggap repot. Keseharian Arlan, cowok terlalu rajin yang mau melakukan semua hal yang Kana anggap repot. Juga orang...