Dua

24.5K 1.7K 72
                                    

Bolehkah minta vote kalian? Jangan hanya jadi silent readers guys, semoga bisa ikut kebawa suaaana alis baper dan bisa diambil hikmahnya. Makasih.. 😘

***

"Raka," panggil seseorang saat dirinya mulai menaiki tangga yang terhubung ke kamarnya yang berada di lantai dua. Raka yang menyadari panggilan itu langsung membalikkan tubuhnya dan mendapati sosok sang Bunda, Asya, yang telah berada didasar anak tangga sedang menatapnya.

"Bunda," Raka kembali menuruni anak tangga dan menghampiri Asya.

"Darimana aja kamu?" tanyanya.

Raka terdiam, lalu menarik napas lelah sebelum menjawab pertanyaan Asya. "Kantor,"

"Tapi tadi-"

"Udah ya Bund, Raka cape. Besok Raka ada sidang, Raka ke atas dulu." Tanpa menunggu jawaban dari Asya, Raka melenggang pergi begitu saja, melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga menuju kamarnya.

"Raka, gimana pun kamu. Kamu tetap anak Bunda." gerutu Asya pelan. Sambil menatap kepergian Raka yang perlahan menghilang masuk kedalam kamarnya.

***

Sesampainya didepan kamarnya, Raka langsung masuk. Ditutupnya pintu kamarnya secara pelan, seperti tidak ada tenaga dalam dirinya. Otaknya terasa berat menanggung semuannya. Sungguh, terlalu banyak beban yang harus dipikirkannya saat ini.

Belum kasus kliennya selesai. Ia harus berhadapan untuk menerima kenyataan tentang kondisi sang ibu yang selama ini dirindukannya.

Perlahan, Raka beranjak menuju ranjangnya yang berukuran besar. Dikeluarkannya kunci mobil, dompet dan ponselnya dari dalam saku celana untuk kemudian diletakkan diatas meja di samping ranjangnya. Tanpa menganti pakaiannya lebih dulu, dibantingkan tubuhnya keatas ranjang yang bertipe spring bed itu. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Kejadian tadi siang, seakan berputar dalam bayangannya.

Sedetik kemudian, Raka bangun untuk mengubah posisinya menjadi duduk dan sedikit bergeser kesisi ranjang. Dibukanya laci meja disisi ranjang, lalu diambilnya bingkai foto berukuran 4R dari dalam sana. Sebuah bingkai yang terdapat sosok Risty beberapa belas tahun lalu didalamnya.

"Raka percaya, Ibu pasti sembuh." Gumamnya sambil tersenyum pada foto tersebut. Bayangan sang Ibu lagi-lagi muncul. Namun, kali ini bayangan itu muncul berbarengan dengan sosok Nafisa, sosok yang selama ini Raka kagumi dalam diam.

Raka tersenyum mengingat semuanya. Kenangan hampir sepuluh tahun itu, masih terasa nyata dalam bayangannya. Dia memang cantik, bahkan sangat cantik meski wajahnya polos tanpa riasa sekalipun. Tubuh tinggi pun tidak perlu diragukan lagi, hingga banyak dari teman-temannya yang menginginkan memiliki tubuh sepertinya. Namun, buat Raka, semua hanya point plus dari dirinya. Kepribadian hatinya yang baik justru membuat Raka kagum.

"Fisa.. Akhirnya Allah mempertemukan kita lag-," Raka menggantungkan ucapannya, seakan ada hal yang berusaha diingatnya. "Puisi itu.."

Raka bangkit dari duduknya. Kemudian melangkahkan menuju sebuah lemari kayu yang berada tidak jauh dari ranjangnya.

"Dimana puisi itu.." Diacak-acaknya lemari itu, dikeluarkannya satu persatu berkas dari dalam lemari.

"Ketemu juga.." Akhirnya yang dicari pun ketemu. Sebuah kertas putih yang kini sudah menguning, dengan goresan tinta yang masih dapat dibacanya. Ya. Didalam kertas itu memang tertulis puisi pertamanya untuk Nafisa. Puisi pertama yang tidak pernah diberikannya pada perempuan itu.

Waktu telah mengiring perasaan ini...

Perasaan yang perlahan tumbuh beriring hari....

Pasien Pengantar Jodoh [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang