14 - Biji Pala

13.2K 1.2K 183
                                    

RIANA POV

Dini hari dan untuk pertama kalinya aku melihat Beni memukuli orang. Dia keliatan nyeremin kalo kaya gitu. Lebih serem daripada vampire, tapi juga lebih ganteng daripada Edward Cullen.

Aku mengompres memar di wajah wanita ini dengan air hangat. Entah bener atau salah, aku gak punya es batu, ini air hangat pun dari dispenser. Kalo ngompres memar kudu pake es batu, aku cuma berharap ujan es batu aja sekalian, biar tinggal mungut di depan kostan.

Gak lama, Beni masuk, disusul oleh Mahesa yang sedari tadi bengong.

"Itu cowok lo?" Tanya Beni.

Wanita ini menggeleng, mungkin dia takut bibirnya tambah robek kali ya kalo buka suara.

"Terus apaan?" Tanya Beni.

"Kakak tiri!" Jawabnya pelan sambil meringis.

"Brengsek banget! Diapain aja lo?" Tanya Beni.

"Ben, diemin dulu aja lah. Lagi gini masa ditanya-tanya. Gimana sih?!" Seruku.

Beni mendengus kesal lalu merebahkan diri di kasur.

"Malem ini istirahat di sini aja ya? Apa kalo ujan reda mau dianter ke UGD?" Tanyaku.

"Entar dia gue anter ke UGD aja sekalian balik." Kata Mahesa.

"Gimana caranya?" Tanyaku, kita aja jalan kaki ke sini.

"Kan gue bawa mobil." Kata Mahesa.

"Kan di resto?" Aku mengingatkannya.

"Santai, entar gue anter si Esa ke resto. Terus bisa bawa cewe itu ke Klinik atau UGD. Tapi nanti, ujannya masih deres. Kalem dulu aja."

Kami semua menoleh, Beni buka suara sambil tetep terpejam. Aku mengangguk, begitupun yang lain.

●○●○●

●○●

Pukul empat sore, seperti hari kamis sebelum-sebelumnya. Kami berdiri dalam diam, meneriakkan keadilan dalam keheningan masing-masing.

Di sampingku, Beni memegang banner tentang menolak lupa atas kejadian-kejadian tak adil yang terjadi kepada beberapa aktivis HAM yang sialnya, sudah dilupakan dan dianggap angin lalu oleh para penguasa jaman sekarang.

Pukul lima lewat, aku dan Beni sudah menepi di jalur pedestrian, memakan es cincau dari penjaja makanan yang berjualan di pinggir jalan.

"Aku pengin deh punya payung hitam." Kataku tiba-tiba.

"Beli aja." Ujar Beni.

"Tapi kalo payung bagusan transparan. Kita bisa liat butir-butir air hujan yang jatuh di kepala kita."

"Yaudah gausah pake payung sekalian."

"Aku jadi pengin mandi hujan."

"Jangan, nanti sakit." Larangnya.

"Aku pengen menari di bawah hujan, berputar-putar, berlarian, mencipratkan air hujan kepada siapapun yang ada di dekatku. Seru."

Beni menatapku tajam.

"Aku rasa ada anak kecil di kepala kamu yang menolak dewasa." Katanya sambil mengetuk-ngetukan jari telunjuknya di kepalaku.

"Kayanya."

"Bagus sih! Kadang, kita merasa terlalu jenius sampai-sampai lupa melakukan hal konyol yang ternyata menyenangkan." Kata Beni.

"Kapan terakhir kamu ngelakuin hal konyol?" Tanyaku.

KISAH TANPA CERITA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang