Janji [2]

5.6K 212 53
                                    

Udah seminggu Aldan nggak masuk sekolah. Enak banget Aldan. Tapi, kemana dia seminggu ini?

Ke hutan?
Nggak mungkin deh, kalau dia ke hutan. Emang dia mau nyari tarzan?

Ke luar negeri?
Bisa aja si Aldan ke luar negeri. Sama keluarganya.

Apa Aldan sakit parah?
Tapi, dia pas masuk dulu aja kayak anak jalanan. Tapi, mungkin aja sih.

Apa si Aldan pergi ke luar angkasa? Ini mustahil banget, buat apa dia ke luar angkasa. Mau ketemu sama alien?

Apa Aldan, ada masalah?
Bisa aja.

Berbagai pertanyaan muncul di pikiran gue.

Kalau udah nggak masuk seminggu sih pasti ada masalah. Mungkin.

Sekarang dia lagi ngapain ya?
Ngapain juga gue mikirin dia. Nggak ada gunanya.

"Lo jangan bengong mulu." ucap Nila menyadarkan gue dari lamunan yang panjang, sepanjang jalan tol. Hahahaha.

"Kayaknya lo lagi kangen ya sama Aldan. Seminggu nggak ketemu. Dan nggak debat sama Aldan. Lo pasti kangen." goda Nila.

"Nggak mungkin." jawab gue cuek.

Sekarang gue dan Nila sedang di Taman. Duduk - duduk aja. Melihat keadaan sekeliling yang sebagian besar anak - anak kecil sedang main sama Mama - mamanya.

"Kok gue kayak lihat Aldan." Nila celingak - celinguk.

"Mana?" gue melihat pada arah mata Nila. Tapi, nggak ada apa - apa.

"Lo ngerjain gue ya?" gue mendengus kesal.

"Nggak, gue bener tadi lihat Aldan sekilas." Nila memperjelas.

"Cuman sekilas, mungkin mirip aja."

"Itu - itu!" tunjuk Nila.

Gue melihat ke arah telunjuk Nila. Gue melihat sekilas sosok seperti Aldan sedang duduk di kursi dekat pohon.

"Kita samperin yuk!" gue dan Nila berdiri dan langsung berlari.

Saat sampai di tempat Aldan duduk.

Ternyata bukan dia.

Ternyata kakek - kakek yang lagi pacaran sama brondong. Kenapa kayak Aldan ya? Padahal usia diantara mereka beda jauh.

Si kakek dan perempuan itu memandang gue dan Nila penuh tanda tanya.

"Maaf, Kek. Tadi saya kira temen saya." Nila cengengesan.

"Saya tuh masih muda tau. Jangan panggil saya kakek, panggil saya om. Memang saya keliatan tua, tapi jiwa saya muda." si Kakek mengatakannya dengan tatapan sombong.

"Kenapa nggak nyadar umur kek?" batin gue.

"Sana - sana pergi, ganggu orang aja." usir si Kakek, eh si om.

Gue dan Nila berjalan meninggalkan tempat si Kakek berada.

"Pasti cewek itu matre. Cuman mau harta si Kakek doang. Kalau si Kakek udah meninggal pasti mau warisan." si Nila ngedumel.

"Lo cemburu, Nil?" tanya gue, karena sikap Nila tuh seperti iri sama tuh cewek.

"Amit - amit, nggak mungkin gue suka sama kakek - kakek." Nila memberikan wajah tak terima.

"Terus kita mau kemana sekarang?" tanya gue setelah beberapa saat hening.

"Pulang aja. Udah sore juga."

"Ok lah. Gue duluan ya." gue dan Nila berbeda arah jalan pulang, gue ke kanan Nila ke kiri.

"Iya."

Gue berjalan menuju rumah gue yang tidak jauh dari taman.

Gue melihat beberapa meter di depan gue, gue melihat seseorang yang berjalan dengan wajah melihat ke bawah. Laki - laki, seumuran denganku, dan memakai jaket.

"Permisi." sapa gue saat dia akan melewati gue.

"I-iya." jawabnya gugup. Atau mungkin kaget.

"Saya sepertinya nggak pernah liat kamu, apa kamu baru pindah ke sini?" tanya gue ramah.

"Saya baru pertama kali kesini, beberapa hari yang lalu om dan tante saya meninggal." wajahnya semakin sedih.

"Saya turut berbelasungkawa." gue ngerasa bersalah nih.

"Nama lo siapa?" tanyanya, sekarang wajahnya semakin tenang. Dia mengulurkan tangan.

Tadi ngomongnya saya - kamu, sekarang lo - gue. Mungkin nih orang gampang akrab.

"Gue Rifa." gue menjabat tangannya.

"Gue Akbar."

"Rumah lo deket sini?" tanya akbar lagi.

"Iya." jawab gue singkat. Gue ngerasa gimana gitu ngomong sama nih orang, mana di jalan lagi. Banyak yang ngeliatin.

"Lo sekolah di mana?" tanyanya. Sebenarnya dia tuh wartawan atau apa? Nanya mulu. Mungkin mau lebih kenal ama gue kali.

"Di SMA Merdeka."

"Sepupu gue juga sekolah di situ."

'Kirain lo yang sekolah di SMA Merdeka. Tapi, kalo lo sekolah di sana. Gue nggak pernah liat' batin gue.

Gue pegel banget sumpah. Berdiri di jalan. Ngobrol ama orang yang baru kenal. Diliatin ama orang yang lewat.

"Kalau boleh tau sepupu lo siapa namanya?"

"Moga - moga gue kenal ama sepupunya si Akbar." batin gue.

"Aldan."

Tunggu - tunggu, dia bilang Aldan? Apa Aldan Ramadhan ya? Moga - moga Aldan sahabat gue.

"Sepupu lo Aldan Ramdhan?"
tanya gue hati - hati.

"Iya."

"Dimana dia sekarang? Ohhh jadi karena ini Aldan nggak sekolah."

"Kata pembantunya, Aldan ngurung diri di kamar. Tapi, tadi pas gue ke kamarnya dia tuh udah nggak ada."

'Jadi, Aldan nggak sekolah karena ortunya meninggal.' batin gue sedih.

Gue juga bisa ngerasain gimana kalau gue ada di posisi Aldan, mungkin gue akan ngelakuin hal yang lebih bodoh lagi.

"Lo udah nyari?" tanya gue.

"Udah, tapi ada satu tempat yang belum gue datangi. Mungkin Aldan ada di situ. Tempat dimana gue dan Aldan kecil selalu main ke sana."

"Oke, kalau gitu kita ketemuan di sini besok! Kita cari sama - sama. Gue balik dulu ya. Udah sore banget nih." gue pun langsung berjalan ke arah rumah gue.

Alhamdulillah ada petunjuk untuk nemuin Aldan. Moga - moga besok Aldan ketemu.
Amin.

End

Maaf aku telat update nih. Satu bulan mungkin nggak update. Aku tuh udah usahain satu minggu sekali, tapi sibuk banget akhir - akhir ini. Sebentar lagi mau PAS (Penilaian Akhir Semester). Jadi, mungkin update nya nggak tentu. Sekali lagi maaf buat yang nunggu kelanjutan cerita ini. [Kayak ada yang nungguin aja] 😭

Dalam chap ini maaf kalau  typo, kalimatnya nggak jelas, nggak sesuai EYD.

Aku juga lagi butuh ide nih. Buntu banget, nggak ada ide sama sekali.

Oke, sampai jumpa dengan chap selanjutnya.

Terima kasih udah baca, vote dan masukkin cerita aku ke reading list. Sekali lagi terima kasih.

Salam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 16, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketua Kelas vs Murid BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang