Part 3

17 0 0
                                    

Pagi ini matahari terhalang langit mendung sehingga suasana pagi di desa Tyas tidak secerah biasanya. Jam dinding di ruang tengah rumah Tyas menunjukkan tepat 06:30 WIB. Tyas sudah selesai siap-siap dan sarapan, Dia sudah siap berangkat sekolah tetapi adiknya belum bangun.

"Mak, Agung kok belum bangun sich? Apa tidak ingin ketemu aku?" tanya Tyas pada Mamaknya.

"Kamu berangkat sekolah dulu ya Nduk, tadi Agung sudah bangun untuk sholat subuh tapi tidur lagi, ya sudah biarkan kamu nanti malah terambat, nanti Mamak sampaikan kalau kamu mencari dia" Mamak menjelaskan dengan sabar pada Tyas.

Sesampainya di sekolah Tyas merasa sedikit kecewa, siswa yang hadir baru lima anak dari sembilan belas anak di kelas yang menjadi tanggung jawab Tyas yaitu kelas lima. Tyas tahu apa yang menjadikan siswanya belum sampai sekolah sampai bel sekolah berbunyi. Jalan licin dan kali banjir karena hujan deras tadi malam yang telah menyebabkan siswanya tidak masuk sekolah. Kejadian seperti itu selalu berulang setiap tahun, tetapi tidak ada upaya dari pemerintah untuk menanggulanginya. Dalam hati Tyas menangis tapi dia tidak ingin melihat siswanya yang berjuang untuk berangkat ke sekolah melihat dirinya sedih.

Meskipun hanya lima anak Tyas tetap mengajar mereka seperti biasa yaitu selesai saat jam 12:00 siang. Dalam setiap kesempatan di kelas Tyas selalu berusaha selalu memotivasi siswanya untuk tidak menyerah pada keadaan dalam menimba ilmu. Dia ingin siswanya menjadi orang sukses yang dapat membangun desa mereka supaya tidak tertinggal dari daerah lain. Setelah selesai mengajar Tyas langsung bergegas pulang karena ingin cepat ketemu adiknya di rumah.

"Assalamu'alaikum" salam Tyas dan langsung masuk rumah.

"Waalaikumsalam" jawab Agung dari dalam kamarnya.

Mendengar suara adiknya tanpa ragu Tyas masuk kamar Agung.

"Kamu pulang kok tidak kasih kabar ke aku, di rumah berapa hari dik?" tanya Tyas sambil menghampiri Agung.

"Besok juga aku balik ke Semarang mbak, aku besok sudah masuk kuliah" jelas Agung.

"Mbak, sebenarnya Agung butuh uang 10 juta untuk biaya masuk kuliah Agung, seharusnya sudah harus bulan lalu, tetapi Agung minta penangguhan pembayaran sampai minggu ini" Agung mengutarakan maksud kepulangannya.

Mamak yang tidak sengaja lewat depan kamar Agung karena mendengar Tyas pulang spontan mengagetkan percakapan adik dan kakak yang saling melepas rindu.

"Hus.... Agung, mbak Tyas itu baru pulang biarkan dia ganti baju dan makan siang dulu ya nak" Mamak menengahi, tetapi membuat Tyas dan Agung kaget karena sedang sibuk dengan pikiran masing-masing.

"tidak apa-apa Mak, mau kapan lagi mumpung ada mbak Tyas di sini, aku malu Mak harus dipanggil dosen pembimbingku ditanyain masalah pembayaran" kata Agung membela diri.

"sudah-sudah Mak. Dik, Bapak sudah tahu belum masalah ini?" tanya Tyas menengahi.

"Bapak belum pulang dari sawah Nduk, tapi tadi dia sudah bicara sama Agung kalau Bapak baru ada tiga juta, nah sisanya Bapak ingin coba minjam sama Juragan Abdullah, siapa tahu dapat pinjaman do'akan aja Nduk" tutur Mamak pada Tyas.

"Ya Mak, itu kelamaan aku besok sudah harus balik ke Semarang" Agung mulai meninggikan nadanya.

"Agung kamu bisa tenang tidak? Kenapa pinjam ke Juragan Abdullah Mak, dia itu kan rintenir yang bunganya tinggi sudah begitu pasti minta jaminan" ucap Tyas cemas.

"Terus harus bagaimana lagi mbak? Kalau sampai tidak dilunasi uang kuliahku aku tidak mau balik ke Semarang lagi, aku tidak mau kuliah lagi" Agung marah dan mengancam pada Tyas.

"Astagfirullah Agung, jumlah uang yang kamu minta itu tidak sedikit, tabungan yang mbak miliki belum ada setengah dari jumlah yang kamu minta, Kamu harus ngerti dan sabar kasihan Mamak dan Bapak" Tyas juga mulai terpancing emosinya mendengar perkataan adiknya itu.

"Kalian berdua jangan bertengkar, ini tidak akan menyelesaikan masalah kalau kalian saling menyalahkan seperti itu" ucap Mamak tegas.

Seketika suasana hening, hawa dingin menyelimuti dan merasuk ke dalam pikiran mereka seakan ingin ikut dalam kesibukan pikiran masing-masing.

"Tok.... Tok...Tok..." suara pintu di ketuk di susul ucapan salam dan langkah kaki memasuki rumah.

"Itu Bapakmu pulang" kata Mamak seraya menjawab salam dari Bapak.

Sesampainya di kamar Agung, tanpa basa-basi Agung langsung menodongnya dengan pertanyaan.

"Pak, gimana hasilnya? Dapat pinjaman tidak?" tanya Agung pada Bapaknya.

Melihat itu semua Mamak dan Tyas hanya dapat diam dan memperhatikan apa yang mungkin keluar dari mulut Bapaknya.

Ditanya seperti itu Bapak hanya dapat menunduk lesu dan sedikit menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan dengan tatapan kosong.

"Kok bisa sich Pak? Pokoknya Agung tetap dengan pendirian Agung, tidak ada uang itu Agung tidak mau lanjut kuliah" semprot Agung pada Bapaknya.

"Maafkan Bapak Gung, tadi juragan minta jaminan surat rumah sama tanah yang dekat rumah mbah Ali, jadi Bapak minta waktu untuk memikirkannya" jelas Bapak sabar.

"Ehm gitu, gimana kalau tanah yang dekat rumah mbah Ali di jual saja, kan lumayan uangnya bisa buat bayar kuliah Agung, sisanya buat masuk kuliah mbak Tyas Pak" celetuk Agung.

"Hus..... kamu itu ada-ada saja, itu kan di jual untuk Bapak dan Mamak naik haji begitu pesan kakek Gung" Tyas menyanggah ucapan adiknya.

"Kalau uang itu untuk kebaikan pasti di sana kakek juga bahagia kok Pak kalau tanahnya di jual" rayu Agung pada Bapaknya.

"Iya sudah Bapak setuju Gung, yang penting kamu kuliah yang bener ya Nak" Bapak menyanggupi.

Dalam hati Tyas merasa kecewa dengan hasil keputusan bersama itu, tetapi dia tidak bisa berbuat banyak dia hanya bisa mendo'akan supaya kuliah Agung lancar dan dia merasa mempunyai peluang apabila bukan dengan peninngalan kakek untuk orang tuanya berangkat haji, itu artinya kesempatanku untuk menghajikan Bapak dan Mamak pikir Tyas bangga.

Benar saja sore itu tanah di sebelah rumah mbah Ali di jual Agung pada juragan kaya dari desa seberang seharga lima puluh juta. Tidak cukup sampai di situ Agung pun membuat ulah lagi.

"Pak ini uangnya yang sepuluh juta buat kuliah Agung, tapi Agung minta lima belas juta lagi untuk beli motor, sisanya untuk Bapak tabung kalau sewaktu-waktu Agung butuh uang, kan mbak Tyas tidak mau masuk kuliah" rayu Agung pada Bapaknya.

"Beli motor? Kenapa harus beli motor sich Gung, biaya hidup kamu di sana saja sudah mahal ditambah beli motor" Tyas mengungkapkan ketidaksetujuannya pada ide Agung.

"Mbak Agung Malu kalau harus pakai kendaraan umum, boleh ya Pak", Agung terus membujuk Bapaknya.

"Iya kalau kamu butuh sekali ya tidak apa-apa Nak, Bapak manut saja" kata Bapak karena sudah tidak dapat menolak permintaan anak laki-lakinya itu lagi.

"Terima kasih Pak" jawab Agung sambil tersenyum penuh kemenangan pada Tyas.

Titisan KartiniWhere stories live. Discover now