Silence

92 1 1
                                    


Mawar liar tumbuh di belantara tak tampak sang nur

Kelam terjeruji antara pohon yang menjulang tinggi

Berakar parasit dalam batang yang menjulang

Sang nur mencoba menggapai tapi apa daya

                        Kesejukan dan kelembapan membuat nyaman

                        Antosianin tak dapat terurai dengan semestinya

                        Mendatangkan kepekatan yang jelas

                        Sampai kelopak berguguran dan mengering

Sore ini mentari tak sesuai waktu yang telah di atur dan awan abu-abu yang mendekati hitam ini datang menutup jalan gelombang cahaya menjajaki bumi . Termenguh di bingkai jendela menatap kelamnya sang langit berharap ada yang menarik disana, tapi sayang yang terlihat hanyalah gumpalan-gumpalan awan hitam yang sudah tidak kuat unruk menumpahkan hujan. Huft, sudah berapa kali aku menghela nafas, seandainya benar adanya orang yang sering menghela nafas akan cepat menuju kematian mungkin sekarang aku sedang berada pada urutan 10 besar orang yang akan dijemput malaikat maut. Memang benar adanya cuaca sangat mempengaruhi suasana hati manusia. Beban pikiran yang tidak tau dimulai kapan dan berakhir kapan, hanya diam tidak tau apa yang harus ku perbuat. Melihat keadaan mu yang kacau seperti ini aku tidak ingin menanyakan penyebabnya.

"sepetinya akan hujan, langit makin pekat." kau berbicara bagaikan mayat hidup, kosong.

"sepertinya sih begitu"

Kesunyian datang kembali, kami kembali menikmati mendung ini. Sepertinya mendung adalah fenomena alam yang sangat menarik untuk saat ini. Ya menikmati mendung tapi aku benci akan keheningan ini.

"Tumben? memang gak kuliah?" aku mencoba menghilangkan keheningan ini.

"Pengen main aja, uda lama aku gak main kesini"

Ku lihat jarum jam di tangan ku, ternyata masih menunjukan pukul 3 sore lewat sedikit tapi langit semakin pekat seperti jam 6 sore. Huft, satu kali lagi aku menghela dan umurku berkurang kembali. Aku berbalik menatap mu dan duduk di kusen jendela. Kesunyian datang lagi. Aku bukannya manusia yang kekurangan kosakata atau tak pandai merangkai kata tapi aku tak mau memulainya, melihat keadaan mu saja sudah membuat aku merasakan apa yang kamu rasakan walaupun aku tidak tau alasannya apa dan kenapa.

"sudah berapa bulan kita gak bertemu?" kau mulai lagi dan itu merupakan pertanyaan yang sangat basi untuk di ajukan.

"mungkin sudah 63-an kolom kalender yang sudah kau coret jika itu cara mu menghitung"

"sudah berapa digit angka timbangan mu yang berkurang, tubuhmu semakin kering," teliti mu.

"dan kau semakin kacau" jawabku langsung karena sudah tidak tahan melihat keadaan mu.

"hehehe" tawa mu sangat kentara terpaksa

"seberat apa yang kau pikul"

"biasa saja"

"tapi wajah mu menjawab tidak ada yang biasa"

"bisakah sekali saja aku bisa membohongimu" kau tundukan kepala mu.

"dari sebelum akikah terjadi aku sudah mengenal kamu, jadi ada apa?" Ok mungkin aku orang munafik yang berjanji tidak memulai pembicaraan tapi sekarang apa yang aku lakukan? aku menanyakannya, sial!

"Dia" suara keterputus asaan itu keluar dari bibir mu.

Pertahanan akan dirimu goyah, roboh dan hancur. Bibirmu bergetar. Sudah ku duga, kalau aku mempertanyakannya akan memperburuk keadaan. Melihat wajah mu tertunduk lesu dengan rambut yang acak-acakan membuat hati ini semakian perih dan ngiluh. Apalagi mendengar dan melihat langsung tangis mu.

SilenceWhere stories live. Discover now