Ucapan Terima Kasih

2.4K 258 199
                                    


Selamat pagi, salam sejahtera pembaca semua.

Terima kasih sudah mengikuti kisah Trimasih dari awal hingga selesai, semoga pembaca menyukai tulisan saya.

Seringkali saya ditanyai, kenapa menulis novel roman berbau sejarah dan settingan masa lampau, bukan zaman sekarang dengan tokoh dan cerita kekinian?

Jika boleh saya jawab, novel ini lahir dari kepingan masa kecil saya. Nenek saya bekerja di perkebunan kopi Kawisari. Setiap liburan semester, saya selalu dikirim ke sana. Tidak banyak yang saya tahu tentang Kawisari selain jalan berliku naik-turun tempat saya dan sepupu saya bermain, kolam jernih Blumbang Biru, Pos L-8, Paseban Kembar, pohon raksasa Laweyan, dan nama-nama penduduk Kawisari yang timbul tenggelam dalam ingatan saya.

Mbah Jibah dalam novel ini adalah cerminan nenek saya. Orang-orang Kawisari menyebutnya Mak Prih, ada juga yang memanggilnya dengan sebutan Mak Pyek. Saya sangat mencintai beliau, rasa kangen yang luar biasa padanya membuat saya ingin mengulang masa kecil. Dari situ saya ingin mengabadikan beliau dan masa kecil saya lewat novel.

Tulisan-tulisan Ahmad Tohari juga berpengaruh besar pada karya ini. Cara beliau bertutur dan pengambilan setting sering membuat saya terbawa pada dimensinya. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah tulisan utama dari Ahmad Tohari yang menginspirasi cerita Kembang Kawisari ini. Trimasih, adalah jelmaan dari Srinthil dalam versi saya. Betapa kecantikan tidak serta merta membuat seorang perempuan berbahagia. Ada puluhan babak yang harus dilalui Trimasih; dari seorang gadis lugu yang baru menyadari jika sudah berubah menjadi perempuan dewasa, hingga akhirnya menjadi pemilik perkebunan Kawisari dan menemukan cintanya.

Dalam karya ini, saya tidak hanya menyajikan plot cerita yang (mudah-mudahan) menarik, tetapi saya berusaha melestarikan nilai-nilai luhur moyang Jawa saya. Jika dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ada ritual Bukak Klambu, maka dalam Kembang Kawisari ada prosesi Manten Agung. Selain itu, saya juga menyisipkan nilai-nilai kejawen sebagai apresiasi saya pada local wisdom; makna mimpi, pertanda alam, kejadian-kejadian di luar nalar dan lain-lain.

Saya tidak hidup pada zaman novel ini berlangsung, maka agar saya tidak menipu pembaca dan cerita saya logis/ masuk akal, saya melakukan riset secara mendalam. Semisal, saat adegan Parman dan Trimasih nonton film Rhoma Irama. Saya harus memastikan apa judul film Rhoma yang sedang main pada zaman itu. Pun kendaraan yang dipakai Parman, apakah motor CB sudah ada di zaman itu? Masih banyak lagi bagian-bagian yang saya tulis melalui riset terlebih dahulu, karena saya ingin memberikan yang terbaik kepada pembaca.

Saya tahu, pembaca saya segmented. Tidak semua orang menyukai cerita dengan latar seperti Kembang Kawisari, tetapi saya yakin, apa pun yang keluar dari hati pasti akan sampai ke hati. Saya hanya berharap, saat pembaca membaca karya saya, ada momen kreatif yang timbul dalam jiwa mereka. Itu saja sudah cukup.

Sebagai penulis saya sadar, saya belum ada apa-apanya. Maka dari itu, saya ingin berterima kasih pada pembaca yang sudah mengkritik, memberikan koreksi, atau sekadar berkomentar sebagai bentuk apresiasi. Bagi penulis, itu sangat berharga. Ucapan terima kasih saya sampaikan pada Mbak Linda, yang dengan getol memelototi tata bahasa dalam tulisan saya. Juga para pembaca yang sudah mengikuti novel saya dari awal hingga akhir.

Jika ada pertanyaan seputar novel ini, dipersilakan.

Berkah Dalem,

Jo.

Kembang KawisariWhere stories live. Discover now