Kisah proses kreatif saat saya menulis Kembang Kawisari

2.1K 149 87
                                    


Seorang perempuan berkebaya encim menyeduh kopi. Empat sendok bubuk untuk enam cangkir mungil yang berbaris di atas nampan, berwarna seragam. Takaran itu tidak berubah, sudah seperti itu sejak Tuan Van Leukhen memanen biji kopi pertama dari perkebunan Kawisari.

Aroma kopi menguar, merembet bersama kabut dan tembok batu di beranda loji, hinggap pada rongga hidung. Nyai Menur, Sang Pewaris perkebunan kopi, menghampiriku bersama enam cangkir mungil seduhannya.

"Sebuah kehormatan, kamu mau mengunjungiku dan menulis kisahku, Anak Muda."

"Ah, apalah artinya tulisan saya, dibandingkan dengan kemasyhuran nama Nyai."

Sebuah cangkir berpindah tangan, masih hangat. Uapnya menari-nari di permukaan pekat, seperti sumur dalam tanpa cahaya. Aku tak kuasa menghidu candu yang ditawarkan Nyai Menur dalam sebentuk kopi dalam cangkir.

Perempuan itu berlalu setelah yakin aku menenggak seluruh isi cangkir.

"Mampus kau, Parman." bisiknya lirih.

Kira-kira seperti itu imajinasi saya saat menikmati seteko penuh kopi jawa di pelataran Hotel Tugu, Malang. Saya tidak menyangka akan menemukan kopi yang melatari novel Kembang Kawisari  yang sedang saya tulis saat berada di Malang: Kopi Jawa dari Kebun Kawisari.

Sudah menginjak bulan keenam saya menulis novel, tentang perempuan-perempuan  penghuni Kebun Kawisari dan kisah-kasihnya. Saya sepertinya jenuh dan butuh jalan-jalan, maka tahun baru tahun 2016 ke 2017 kemarin saya habiskan di kota apel.

Saya tidak tahu, apa hubungan antara Anhar Setjadibrata (owner tugu group) dengan pemilik kebun Kawisari, tetapi yang jelas saya menemukan mitos Joko Gondel dan Sri Gondel di Hotel Tugu.

Joko Gondel dan Sri Gondel dipercaya sebagai pohon pertama yang tumbuh di Kebun Kawisari, cikal bakal perkebunan seluas 350 Ha di kaki Gunung Kawi tersebut. Setiap tahun diadakan upacara 'perkawinan' Sri Gondel dan Joko Gondel, pembacaan kembali ikrar pernikahan dari biji-biji kopi kedua pohon tersebut.

Saya mengangkat budaya ini menjadi salah satu bab penting dalam novel saya. Klenik? Iya, ada sedikit kelnik yang saya ceritakan, dengan bumbu roman percintaan di tahun 1970 akhir.

Kopi dari Perkebunan Kawisari menjadi minuman khas kopi di Hotel Tugu. Orang-orang menyebutnya kopi ose. Buat saya pribadi, nikmat kopi ini bukan main. Mungkin aromanya mengingatkan saya pada masa kecil, saat nenek saya masih hidup dan bekerja di perkebunan Kawisari. Aroma asam dari ceri kopi yang ada di pengolahan benar-benar masih melekat. Kata almarhumah nenek saya, kopi yang diolah secara tradisional di perkebunan Kawisari membuat lendir yang berasa manis masih menempel di biji kopi, membuat hasil akhirnya terasa istimewa karena lendir buah tidak terbuang.

Selain menemukan sejarah Kebun Kawisari, saya juga menemukan sejarah lain di nusantara. Hotel Tugu menyimpan artifak kuno seperti salah satunya adalah lukisan putri konglomerat terkaya abad 19 di Indonesia, Oei Hui Lan – bahan tulisan saya selanjutnya.

Kembang KawisariWhere stories live. Discover now