BAB 4

752 27 2
                                    

Yok baca lagi...
Eits.. Bintang dan komentarnya jgn lupa ya..

_____

Reni menggeleng menanggapi pertanyaan Aila. Reni mencoba membuang nafasnya, dan kembali menormalkan detak jantungnya.. Reni seakan menyembuanyikan sesuatu.

Rini menatap kembarannya seraya mengerutkan kening merasa curiga atas perubahan wajah kakak kembarnya tersebut.

“Kalau ngga apa-apa, aku duluan ya.. sampai jumpa besok. Assalamualaikum?” ujar Aila sembari meninggalkan mereka.

Reni-Rini Cuma menatap punggung Aila yang mulai kian menjauh. Reni masih tetap menatap punggung sahabatnya tersebut hingga menghilang dari pandangannya.

Setelah kepergian Aila, tatapan Rini beralih kepada Reni dengan tampang bingung dan penasaran. Rini dapat merasakan perubahan energi positif menjadi energi negatif dari kembarannya tersebut.

You kenapa, Ren??” ucap Rini curiga.

“Aduuh.. bagaimana ini?” gugup Reni mondar-mandir seraya menggigit jari-jemarinya. Rini yang mendapati kelakuan Reni semakin gusar terhadap kembarnya itu..

What happened, Ren? Katakana pada I..”

“Tadi, aku kan sesak mau ke kamar mandi, lalu….” Obrolan tersebut mengalir dari bibir Reni. Reni menyampaikan segalanya kepada kembarannya itu. Rini mendengarkan membualatkan mata tidak percaya atas apa yang ia dengar dari kembaran-nya tersebut.

Seketika jari-jemari Rini mengepal hingga memutih.

“Kurang ajar!!” upat Rini seraya mengatupkan gerahamnya hingga menimbulkan bunyi. Sumpah serapah mengalir dari bibir Rini.

Di tempat lain, Aila menunggu seseorang menjemputnya. Seseorang pria pemilik hatinya, Rio. menit terus berlalu. Namun, pria yang ditunggu tak jua menampakkan batang hidungnya.

Raut kesal mulai terlihat dari wajah Aila. Kaki jenjang Aila mulai menimbulkan bunyi hentakan tidak suka. Jari-jemarinya mulai menggerutu kesal. Kini, Aila bertambah kesal. Hampir satu jam ia menunggu. Rio tak kunjung datang.

Pupil mata Aila, masih focus mencari-cari adakah dari sekian mobil yang mejalu menghampirinya di tepi jalan itu. beberapa kali ia telah menghubungi Rio. Orang yang ia hubungi tak jua menerima panggilannya. Aila amat kesal.  Diabaikan seperti itu adalah sesuatu hal yang amat di benci, Aila.

Tak terasa, air mata telah mengalir di sudut mata itu. Aila menangis. Kecewa. Kecewa diabaikan oleh Rio, kekasihnya. Aila kembali membuka ponselnya, melihat kontak yang ia rasa tidak mengabaikannya seperti saat ini.

“Ya, Assalamualaikum, dek?” jawabnya diseberang telepon.

Aila tidak dapat menahan air matanya. Diam-diam Ia menangis. Kesal bercampur marah.

“Abang, jemput Aila?!?” Ujar Aila berpura-pura menyembunyikan suara serak yang mulai terdengar darinya. 

“Abang sedang di bandara dek, ada urusan penting. Kalau ngga…”

“Ya udah, Aila naik taksi aja.. Assalamualaikum!!” Timpal Aila memutuskan obrolan singkat dengan Emil.

Tangis Aila semakin menjadi. ia takut. Telah lama ia tidak menaiki taksi, sebab kejadian yang membuatnya hampir tidak perawan lagi. Semenjak itu, Aila trauma dan memilih tidak ingin naik taksi. Dan kali ini, jalan tersebut harus ia pilih agar dapat tiba di rumah.

Tiba di perkarangan rumah, Aila turun sembari menyerahkan tarif kepada supir tersebut. Usai membayar, langkah Aila bergegas berlari, mengacuhkan sahutan saudara iparnya Liana di halaman perkarangan rumah. Liana membuang nafas khawatir. Ada apa dengan adik dari suaminya tersebut. Dalam kamar, Aila menangis tersedu-sedu setelah mengunci pintu. Ia melempar asal tas serta ponselnya di sembarang ranjang. Tidak perduli dengan suara ketukan Mamanya dari luar.

TENTANG RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang