40 5 6
                                    

Gelap ... disini sungguh gelap. Namun, aku pantas berada di tempat ini. Tempat yang tidak dapat dijangkau orang. Tempat yang begitu kosong dimana hanya ada aku sendiri. Iya ... aku sendirian. Duduk meringkuk di tengah kehampaan ruang ini. Tanpa ada cahaya sedikitpun. Air mata berjatuhan hilir berganti. Menangisi betapa sampahnya diriku; betapa tidak berdayanya hingga tidak dapat bergerak maju; merasa tak berguna dan sepi tidak tergapai satupun tangan hangat seseorang.

"Hei, kau ... cukup." Suaranya lah yang membuatku menenggak. Suara tegas yang menggetarkan jiwa. Di tengah kehampaan dunia itu, dia berdiri di hadapanku.

"Kau ...." Hanya dia yang melihat sisi ini. Hanya dia yang dapat menjulurkan tangan hingga menggapaiku di tempat yang tidak terjamah orang lain. Hanya dia.

"Apa yang kau lakukan kali ini?" tanyanya sambil duduk di sebelahku.

"Aku ... melakukan kesalahan. Aku tertinggal,"jawabku.

Dia selalu saja menghela napas kasar ketika aku bercerita. Dia selalu saja memarahi setelah aku bercerita. Dia selalu saja turut menyalahi diriku setelah aku bercerita. Namun, dia juga selalu menawarkan bantuan padaku untuk menyelesaikan segala kekacauan yang sudah aku buat.

"Kau itu kurang tegas. Selalu menggantungkan keputusan. Dan lagi, kau itu, terlalu bergantung kepada orang lain," komentarnya. "Penghianatan, penipuan, perampasan, semua itu sudah biasa di dunia luar. Seharusnya kau sudah waspada dengan semua hal itu."

Aku terdiam untuk beberapa saat. "Jadi ... orang yang mendekatiku pada dasarnya hanya ingin merauk untung dariku?"

Dia mengangguk. "Yah ... mungkin tidak semuanya. Di dunia luar pun, pasti ada orang-orang yang mencintaimu dengan tulus. Kau hanya perlu mencarinya dan bersikap tegar."

"Aku tidak bisa. Aku tidak sekuat itu. Aku tidak sekuat dirimu."

"Itulah masalahnya! Kau harus berubah. Tunjukan bahwa kau itu bukan sekedar anak manja."

"T-tapi ... jika aku melakukannya, apa akan ada yang sakit hati padaku?"

"Kau itu terlalu lembek!" dia mengomel. "Itulah mengapa banyak lelaki buaya darat yang menghampirimu! Kau terlalu baik pada semua orang, itu sebabnya banyak orang meremehkanmu! Kau juga terlalu banyak bersembunyi. Sekali-kali menjadi arogan itu tidak masalah. Kalau begini terus kau tidak akan bisa maju," tambahnya lagi.

Kali ini aku benar-benar diam. Bukannya aku tidak mau, hanya tidak mampu. Aku terlalu tidak berdaya akan hal ini.

Dia kembali menghela napas. "Baiklah. Biarkan aku yang maju dan membereskan kekacauanmu. Kau diam saja di sini sampai kau merasa baikan sambil memperhatikanku."

"Kau mau?"

Dia mengangguk seraya mengulas senyum tipis. "Sebaiknya kau perhatikan aku dan pelajari caraku membereskan segalanya," katanya.

Aku mengangguk dan membiarkan dia pergi ke dunia luar. Dia sangat berbakat di sana. Sangat dewasa dalam bertindak, hati-hati dalam mengambil keputusan, serta dapat diandalkan orang lain. Cahayanya sangat terang, berbeda denganku. Dialah sosok pemimpin yang sebenarnya. Terkadang aku merasa bahwa dia lebih cocok berada di sana ketimbang aku.

Meski pada suatu batas, orang-orang tidak bisa mentoleransinya. Dia memang berhasil menyelesaikan masalahku, tetapi di sisi lain membuat masalah baru. Pada masa itulah, dia akan stres dan kembali ke dunia nan dipenuhi warna hitam ini.

"Terkadang kau itu terlalu kasar dan memaksa," kataku. "Kau tidak akan memiliki teman atau kekasih jika terus begitu."

"Jika mereka teman, seharusnya bisa mentolelir sikapku. Dan soal kekasih, kalau dia tidak sanggup menghadapi sifat dinginku, maka dia bukan tipeku."

Aku tertawa. "Aku pikir para lelaki akan langsung kabur ketika digretak olehmu."

"Itu bagus, kan? Jadi mereka tidak akan menganggapmu remeh."

"Kau ini! Bagaimana kalau mereka malah membenciku? Lalu teman-temanku perlahan menjauh ...," aku mengeluh seraya memeluk tubuhku ketakutan.

"Itu artinya mereka bukan temanmu, melainkan orang-orang yang hanya ingin memanfaatkanmu," balasnya.

"Lalu ... bagaimana ini?"

Kami berdua diam, sama-sama bingung. Aku tidak bisa maju sebab takut menyakiti hati orang dan jika dia yang maju, mungkin masalah ini bukannya mereda melainkan bertambah parah.

"Kalau begitu aku saja yang maju!" Kemudian dia datang, seorang gadis lain dengan pakaian serba hitam dan senyuman secerah mentari.

"Aku tidak mudah terbawa perasaan dan tidak mudah percaya pada orang. Aku juga tidak pernah berprilaku dingin pada orang. Izinkan aku yang maju," katanya. Kedua matanya melirik padaku penuh keyakinan, sungguh tatapan yang hangat dan bersahabat.

"Baiklah, kau yang maju. Tolong, ya."

"Yey!" ia bersorak. "Kalau begitu, aku berangkat. Sampai jumpa!" Tangannya melampai pada kami berdua sebelum berlari ke dunia luar.

Ia sangat mahir beradaptasi dengan sekitarnya, dan dalam sekejap mata dia sudah merenggut hati semua orang. Keinginannya selalu terkabul, aku sangat kagum padanya. Sosoknya memiliki kepribadian lovable. Tetapi ia juga bukanlah manusia sempurna. Ada kalanya ia membuat masalah, misalnya saja ia terlalu hiper dan memaksakan kehendak.

"Aku mengacau!" saat itu ia berlari kembali menemui kami. "Maaf, maaf, aku mengacau, huwaaa ...!"

"T-tidak masalah, tidak masalah," hiburku mengabaikan omelan dia yang satu lagi; mengatakan bahwa gadis itu terlalu hiper, berkebalikan dengaku. "Setidaknya kau tidak mengacau sebanyak aku. Sekarang, beristirahatlah. Kini giliranku kembali ke dunia luar."

"Ide bagus! Kau kan, sangat tenang, kau pasti bisa membereskan masalah ini!"

"Oh, kau sadar kesalahanmu?"

"Tentu aku sadar! Bahkan sebelum mereka berceloteh padaku, aku sudah bisa membaca situasi! Memangnya, kamu?"

"Kau sengaja mengejekku, ya?"

"Sudahlah kalian. Perkelahian tidak akan membawa penyelesaian," aku menengahi mereka. Bisa gawat kalau mereka berkelahi, aku tidak yakin dapat memisahkan keduanya.

"Aku berangkat, ya?"

"Pastikan kau tidak mengacau dalam waktu yang dekat."

"Ya—Eh, apa? Tidak, tidak. Lakukan sesukamu dan selamat bersenang-senang!"

"Ahaha ... aku tahu. Akan kuusahakan tidak membuat banyak masalah." Melihat mereka berdua sungguh membuatku tersenyum. Terkadang mereka memang sering tidak akur, tapi hal itulah yang membuat mereka kompak, serta memahami satu sama lain.

"Terima kasih kalian berdua. Jika tanpa kalian, mungkin aku tidak akan bisa melangkah maju," ucapku, "Dan terima kasih sudah menyelesaikan bermacam-macam masalah yang aku buat."

"Apa yang kau katakan?" dia mendengus, "kami adalah, kau adalah kami. Kita itu satu, dan tidak seharusnya kau berkata demikian."

"Itu benar! Kita adalah satu, satu kehidupan. Makanya, mari berjuang bersama menjalani hidup ini!"

Lagi-lagi mereka membuat senyumku mengembang. "Kalian benar. Tetapi mau dilihat dari manapun, kita ini berbeda. Makanya ... terima kasih."

Beginilah kami hidup. Satu, namun tidak sama. Berbeda, namun satu. Bergantian menjalani hidup, saling mendukung dan melangkah bersama.

END

Alicia's Dumb Book 2Where stories live. Discover now