Teman Lama

22 1 0
                                    


  Aku lupa sudah berapa lama aku berada di sini di kamar kecil dengan debu yang sudah menebal. Mungkin sudah berpekan-pekan aku tidak keluar dari kamar ini, dan sudah sekitar sebulan sejak aku melihat dunia luar. Suara itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Suara yang membangkitkan imajinasiku yang gelap. Aku rasa hampir gila aku dibuatnya, dan berada di kamar kecil yang berdebu ini tidak membuatku untuk tenang. Sejujurnya aku merasa ketakutan sejak pertama kali masuk ke tempat ini.  


Dua pilarnya berdiri dengan tegap berdampingan dengan balutan cat putih dan aksen emas di bagian atas dan bawahnya menandakan keindahan dan kegagahan yang luar biasa. Aku berdiri di depan pagar besi yang tingginya berkali lipat tinggiku. Aku merasa ada yang aneh dengan rumah temanku ini. Aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah. Rumput rumput di tamannya tumbuh dengan tinggi hampir setinggi tubuhku. Aku berjalan sambil terus memegang koperku memutari sebuah air mancur tua dengan patung yang sudah tidak dirawat, terlihat dari lumut yang menutupinya. Aku menginjak sebuah kepala boneka dengan rambut merah yang dikuncir. Pikiranku melayang jauh, khayalan gila mulai bermunculan di setiap ujung otakku memenuhinya dengan ribuan bayang yang tidak mungkin terjadi. Semuanya terasa berbeda ketika aku berada di dekat pilarnya. Sebuah pintu kayu yang diapit dengan dua jendela dengan ukiran tua menyambutku dengan debu yang mengendap di setiap lekukannya. Sebuah lampu gantung berayun di atas kepala, tertiup angin yang kuat. Awan telah memenuhi langit, menutupi setiap celah untuk sinar. Lampu gantungnya berkelip kelip dengan cahaya kuningnya. Sudah hampir setengah menit yang lalu sejak aku menekan bel. Sekelibat wajah terlihat sedang menengok keluar, Lalu pintu pun terbuka. Seorang pelayan perempuan menyambutku dengan wajahnya yang panik. Mukanya terlihat sangat capai dengan kantung mata hitam yang menggantung. Ia membungkuk sedikit lalu mempersilakan ku untuk masuk.

Ruangan yang aku masuki sangat luas dan megah. Jendela-jendelanya panjang, menempel pada tembok dengan ukiran-ukirannya. Seluruh jendela ditutupi dengan gorden cokelat dengan gambar-gambar binatang yang aneh. Hanya ada cahaya kuning dari lampu gantung yang menerangi ruangan di tengahnya. Tapi hampir tidak ada yang bisa terlihat di pojok atap yang gelap. Sebuah kursi sofa yang sudah terlihat lusuh berada di tengah ruangan di atas karpet di depan perapian. Aku sendirian di ruangan yang menurutku sangat megah ini. Sang pelayan kembali dengan membawa seorang lelaki yang kukenal, Rudy. Ia adalah kawan lamaku dan ialah yang mengundangku untuk datang ke sini. Ia memelukku dengan erat secara tiba-tiba. Namun ada yang berbeda dengannya, Wajahnya terlihat sangat pucat dengan kantung mata yang terlihat dengan sangat jelas. Kurasa temanku ini sedang tertekan.

"Apa yang terjadi?" Tanyaku.

"Tidak ada apa-apa" Jawabnya sambil terbatuk. Sang pelayan memberinya obat dan segelas air putih. "Kamu pasti capek kan? Istirahatlah, aku akan menunjukkan sesuatu sore ini."

Aku mengiyakannya lalu bergegas ke kamar yang ditunjukkan oleh Mary, pelayan tadi. Kamarku berada di lantai kedua di pintu kedua. Sebuah kamar yang kecil namun terlihat nyaman. Kamarnya terlihat seperti baru saja dibersihkan karena bau debu yang masih tajam. Sebuah lukisan tergantung di tembok atas meja. Warna hitam mendominasi lukisan itu dengan warna merah yang bercampur dengannya membentuk sebuah bentuk yang tidak jelas, aku merinding.

Kutukan Kubah PutihWhere stories live. Discover now