Taman Bunga

21 1 1
                                    


Hujan sedang turun ketika aku membaringkan badan di atas kasur, di samping jendela tua yang sudah keropos. Pikiranku mulai melayang karena rasa kantuk yang semakin berat. Anganku mulai beterbangan dengan imajinasi yang indah di antara ribuan mimpi. Aku mulai terlelap dalam puncak kedamaian. Namun ada yang mengganggu di kepala ku, suara itu terus terdengar walaupun dalam tidurku. Suara yang pernah kudengar sebelumnya di depan air mancur dengan patung yang berlumut. Lalu bayanganku mulai kabur, suara itu mulai memenuhi mimpiku. Dan yang terakhir yang aku lihat sebelum terbangun, hanyalah darah yang berserakan di setiap ujung rumah. Jantungku masih berdegup dengan kencang dan tanganku berkeringat dingin, pikiranku kosong. Aku berusaha mencerna apa yang baru saja aku lihat di dalam mimpi tadi. Gambarannya terlalu jelas bahkan untuk sebuah imajinasi yang gila. Aku belum sempat menenangkan diri saat Mary mengetuk pintu dan memanggilku.

Rudy sudah menungguku di bawah dengan senyumnya yang polos. Ia terlihat lebih letih dari sebelumnya. Aku ingat ia ingin menunjukkanku sesuatu. Kami pun menyusuri jalan setapak menuju halaman belakang. Aku tidak tahu apa yang ada di sana. Sebuah taman bunga yang sangat luas menyambut kami dengan hembusan angin. Cahaya Jingga matahari sore berkilauan di antara mahkota bunga putih yang menari. Sebuah pondok kayu yang berkubah duduk di tengah-tengahnya. Kami bersantai di pondok itu sambil menghela napas, Aku merasakan sebuah kejutan di tubuhku aku merasa bahagia.

"Ini adalah tempat favoritku" Ujar temanku.

"Kenapa?"

"Karena hanya inilah tempat di mana aku bisa merasakan ketenangan dalam diriku. Sebuah karunia yang sangat luar biasa dan tak terbandingkan." Ia hanya melamun, menatap ribuan bunga di hadapannya.

Aku hanya mengangguk. Apakah ketenangan ini akan berlangsung selamanya? Kedamaian yang abadi di mana tidak ada kerisauan. Hanya ada kebahagiaan yang meluap-luap. Tanpa kusadari mataku terpejam.

"Sejak kapan kau memiliki hobi seperti ini?" Tanyaku.

Ia hanya terdiam tanpa mengatakan satu patah kata pun. Ia melepaskan pegangannya dari tiang kayu, tangannya bergetar dengan hebatnya. Wajahnya menjadi semakin pucat, mulutnya terbuka ingin mengucapkan sesuatu namun tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Aku menyadari ada yang salah dengan dirinya. Aku memegang tangannya yang dingin, badannya menggigil dengan hebat. Aku berteriak minta tolong.

Rudy berhasil digotong ke kamarnya denganku dan dua orang pemuda yang kebetulan lewat. Sejujurnya aku panik bahkan bulu kudukku masih berdiri sampai sekarang. Mary datang dengan baskom dan kain, ia mengompres Rudy.

"Apa ia akan baik-baik saja?"

"Kurasa" Jawabnya.

"Hei, apa kau menangis?"

"Tidak" Jawabnya lagi sambil mengusap mata. "Ia adalah orang yang sangat baik hati."

"Benarkah?" Tanyaku spontan.

"Ya, apalagi istrinya"

"Tunggu, dia sudah menikah?"

Ia mengangguk sambil tertunduk dan sesenggukan.

"Lalu di mana istrinya sekarang?" Tanyaku yang ingin tahu.

"Ia sudah lama tiada." Ia menutup mukanya dan terisak. "Maaf aku permisi dulu."

Sekarang aku sendirian dengan temanku ini. Sebenarnya ini adalah kali pertama aku bertemu dengannya lagi setelah sepuluh tahun lebih. Namun sudah banyak yang berubah dari dirinya. Aku bahkan tidak tahu ia sudah menikah. Pikiranku membayangkan hal yang jauh dan tidak jelas aku tenggelam dalam lamunan.

Sudah sekitar satu jam jejak Mary meninggalkan ku berdua. Aku lepas dari lamunanku ketika Rudy tiba-tiba terduduk dari tidurnya, matanya membelalak dan tubuhnya berkeringat, napasnya juga terengah-engah. Wajahnya diisi dengan kepanikan, namun warna wajahnya lebih baik dari sebelumnya. Tiba-tiba ia berteriak dan berontak, melempar segala barang di atas kasurnya termasuk baskom yang dibawa Mary sebelumnya. Wajahnya menjadi merah dan kehabisan napas. Mary datang ke kamar dan berusaha untuk menenangkannya. Namun nihil ia tetap berteriak dan memberontak walaupun aku sudah turun tangan. Suaranya sudah mulai habis, bulu kudukku mulai berdiri mendengar teriakannya. Lalu tak lama kemudian teriakannya berhenti. Keheningan yang mencekam mengisi kamar dengan tembok cokelat ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi.

"Ambilkan ku air" Pinta Rudy yang masih tertunduk. Lalu Mary pun keluar untuk mengambil segelas air putih.

"Apa kamu baik-baik saja?" Tanyaku dengan tubuh yang gemetaran. Ia tidak memberi jawaban apapun namun mulutnya mulai tersenyum dengan lebarnya. Senyuman yang merobek rahang.

Tak lama kemudian Mary datang dengan segelas air. Ia pun langsung memberikannya ke temanku ini. Rudy mengambil dengan tangan kirinya, namun ia tidak meminumnya. Ia meremas gelas kaca yang di beri Mary. Air dan serpihan kaca berjatuhan dari tangannya. Darah mulai mengucur dari jari jemarinya. Namun ia tetap tertawa, tertawa, dan tertawa.

Kutukan Kubah PutihWhere stories live. Discover now