16. Tapi Hatiku Bisa Melihat

13.2K 1.8K 820
                                    



Di belakang cowok-cowok keren dan baik, pasti ada ibu-ibu yang hebat. Megan dapat menyimpulkan itu karena bertemu dua sekaligus. Mami Kiara dan Bu Salwa. Seperti putra-putra mereka, dua ibu ini bersahabat. Tapi enggak seperti Rayn dan Ardi yang kelihatan sepaket selaras, dua wanita ini kontras dalam penampilan dan sikap.

Ibu Ardi, seorang guru SD dengan penampilan sederhana, berjilbab. Begitu Ardi datang, ia memeluk putranya dan mereka saling menghibur. Keduanya tidak berlama-lama larut dalam duka.

Bu Salwa kemudian menyambut Megan dengan ramah dan mengajaknya mengobrol ringan. Megan membantunya berbenah. Rumah akan ditinggal paling tidak seminggu, harus bersih dan rapi dulu. Ardi sendiri hanya sampai Senin di Cianjur, tidak boleh lama-lama absen sekolah menjelang ujian semester. "Paling dia menginap di rumah Rayn nanti," kata Bu Salwa tertawa geli, mata sembapnya berbinar.

Apa yang lucu dengan Ardi menginap di rumah Rayn? Megan ingin bertanya tapi Bu Salwa sudah beranjak untuk berbicara dengan mami Rayn. Mami Kiara. Ardi memanggilnya begitu. Megan sendiri tidak berani sok akrab. Ia menyapanya dengan sebutan tante saat Rayn memperkenalkan mereka.

Cantik, anggun, berkelas, begitu lembut pada Rayn, baik pada Ardi, dan meminta Megan memanggilnya Mami Kiara juga. Tapi Megan merasa wanita itu menjaga jarak dengannya. Bicara kalau perlu saja. Megan jadi jiper sendiri. Harusnya Bu Salwa yang jadi mami Rayn, pikirnya. Kan jadi lebih mudah .... Eh, mudah untuk apa? Pipi Megan langsung menghangat. Apalagi saat Rayn menoleh kepadanya dan tersenyum. Cowok itu dari tadi sibuk menelepon, disuruh maminya mencari mobil sewaan untuk mengantar Ardi sekeluarga ke Cianjur.

"Megan." Ardi mendekat. Jihan digendong di punggungnya. "Boleh aku bicara denganmu sebentar?"

"Tentu. Di sini?" tanya Megan, sambil iseng menjawil pipi tembem Jihan. Anak perempuan itu langsung menyusupkan muka di balik kepala kakaknya.

Ardi mengajaknya keluar dari pintu dapur ke halaman belakang. Megan mengikuti. Wajah Ardi begitu serius sampai Megan khawatir ini ada kaitannya dengan friendzone-nya tadi. Mungkin Ardi mau protes?

"Aku titip Rayn, ya."

Kalimat pertama Ardi membuat Megan terkesima. Dalam hati ia memaki diri sendiri yang telah berprasangka dan kege-eran.

"Terutama hari Senin nanti. Kalau lagi belajar di kelas, Rayn enggak akan kenapa-kenapa, dia sudah hafal nama teman sekelas berdasarkan tempat duduk. Beberapa teman ia ingat dari bentuk badan dan suara. Tapi waktu istirahat, Rayn enggak boleh sendirian di keramaian. Kamu bisa temani dia? Bantu ngenali orang yang ngajak dia ngobrol."

"Oh, caranya seperti yang biasa kamu lakukan itu ya?"

Ardi mengangguk. "Sebetulnya Rayn pengin banget mandiri, sudah mulai belajar. Tapi aku enggak tenang akhir-akhir ini. Kayak bakal ada kejadian apa gitu ...."

Ardi dengan calm-before-the-storm-nya. Megan enggak pengin meremehkan, tapi ia merasa Ardi sedikit lebay. Mungkin hanya karena terbiasa mendampingi Rayn, jadi pisah sebentar saja cemas. Mungkin kehilangan nenek bikin kebaperan Ardi meruah ke segala urusan. "Aku akan temani Rayn. Jangan khawatir, Ardi, cuma sehari ini. Selasa kamu sudah masuk lagi, kan?"

Ardi mengangguk. "Terima kasih." Ia mau bicara lagi tapi Jihan sudah memberontak. Melonjak-lonjak di punggungnya sambil merengek tidak jelas. Tangannya menggerapai ke arah Megan. "Jihan, Jihan! Stop. Nanti jatuh."

Megan pindah ke belakang Ardi, mendekati Jihan. "Mau gendong sama Kak Megan? Yuk, sini."

Tak disangka-sangka, Jihan menarik lepas bando Megan, lalu melorot turun dari punggung Ardi dan membawa lari aksesorisnya. Ardi pun berseru-seru heboh sambil mengejar adiknya. Megan pulih dari kekagetan dan tertawa. "Biar aja Di, buat Jihan!" teriaknya.

PELIK [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now