23. Just Walking in the Rayn

12.6K 1.5K 571
                                    


"Mau hujan," kata Megan, memecah keheningan.

Ardi mendongak dari Check Point yang ditulisnya. Suasana memang tiba-tiba redup, seakan awan mendung dari segala penjuru digeser mengumpul di atas Kompleks Darmawangsa. Ia memandang ke arah jalan raya, lalu tempat parkir di bawah sana, terakhir ke lobi SMA. Tidak ada tanda-tanda sedan hitam kusam milik Raiden memasuki kompleks. Rayn sudah membolos dua jam pelajaran. Istirahat makan siang pun sudah berlangsung 20 menit. Kotak makan Rayn sudah ia bawakan ke sini. Begitu juga ponselnya, kalau-kalau Mami Kiara menelepon.

"Mungkin sebentar lagi Rayn datang." Ardi tersenyum menenangkan.

Megan hanya mengangguk, melanjutkan lagi corat-coretnya. Entah sedang menggambar apa. Waktu Ardi melongok tadi, Megan buru-buru menutup buku sketsanya. Wajah gadis itu memerah, seperti tertangkap basah membuat sesuatu yang bikin malu. Ardi sampai penasaran, tapi tidak memaksa. Ia sendiri berusaha berfokus pada Check Point, ketimbang resah memikirkan Rayn.

Tapi percuma saja. Tulisannya berhenti di judul. Check Point F. Ia mau nulis apa tadi? Pikirannya balik lagi ke Rayn. Semakin tidak ingin memikirkannya, semakin kepikiran. Sungguh impulsif dan naif! Ardi gemas. Rayn begitu saja menyerahkan diri pada Raiden. Percaya enggak akan ada apa-apa. Huh, apa lebam di rahang dan luka bibir itu enggak cukup jadi peringatan? Raiden bisa nekat. Dan Rayn bisa menerima saja karena merasa bersalah. Padahal kalau mau, Rayn mampu melipat cowok kurus itu dan menerbangkannya dengan satu jurus saja.

"Raiden enggak bisa dihubungi," kata Megan lagi, meletakkan ponsel dan menyemburkan napas. "Ke mana mereka ya? Aku takut Rayn kenapa-kenapa ...."

"Rayn bisa jaga diri. Lawan tiga preman saja bisa kok," tukas Ardi cepat. "Jangan cemaskan dia."

Megan tiba-tiba maju untuk menepuk-nepuk tangannya di atas meja. "Kamu melarang aku cemas, tapi kamu sendiri ngapain kalau bukan cemas? Tuh, makan enggak habis. Nulis enggak maju-maju. Sering lihatin jalan. Kaget tiap kali dengar klakson."

Ardi menyeringai. "Iya. Maksudku, biar aku saja yang cemas. Kamu enggak usah. Tenang saja ya." Ardi menangkap tangan Megan sebelum Megan menariknya secara halus. Dalam situasi lain, ia akan memanfaatkan kesempatan ini. Bersaing sehat, kenapa tidak?

Oh, brother! Kesempatan apa, bersaing apa? Ardi berdecak kesal. Waktu, perasaan, dan energinya malah terfokus pada Rayn. Kalau anak itu kembali tanpa kurang suatu apa, ia yang akan memberinya apa-apa. Mungkin tendangan di bokong. Biar enggak lagi-lagi bikin ia senewen begini. Tapi kalau terjadi sesuatu ....

Ardi menelengkan kepala. Bunyi hujan terdengar mendekat cepat. Petir menggelegar. Tahu-tahu kanopi fiber di atas mereka dibombardir butiran air deras. Megan terpekik kecil terkena cucuran air. Bocor di beberapa tempat. Percikan air dari sekeliling pun sudah membuat basah bangku dan meja. Ardi buru-buru membereskan kotak makanan dan menyelipkan buku Check Point ke dalam tas bekal yang kemudian disandangnya di bahu. Ia berdiri di tengah-tengah. Megan merendenginya sambil mendekap buku sketsa. Pasti banyak karya berhaga dalam buku sketsa itu. Mereka meninggalkan ransel di kelas karena keluar untuk makan siang.

Wangi bedak bayi Megan tercium di antara aroma tanah dan rerumputan yang baru disiram hujan. Rambut Megan digerai dengan bando mawar indigo. Dan lensa kontak. Gabungan Mitsuha dan Meja.

Katakan sesuatu! Ini kesempatanmu! Ardi menelan ludah. Kenapa giliran mau serius bicara sama cewek malah susah?

Ia kalah cepat dengan Megan. "Rayn kehujanan enggak ya?" tanyanya dengan wajah sama suramnya dengan langit. 

Rayn lagi! Uuh. Dua tendangan di bokong enggak cukup kalau begini. Enggak hadir secara fisik pun, Rayn tetap lawan yang tangguh. Ardi menahan jengkel. "Rayn suka hujan. Sudah imun. Namanya saja semakna."

"Harusnya aku yang bicara sama Raiden. Bujuk-bujuk kek, negosiasi kek, apa saja biar dia enggak rese lagi soal kelainan Rayn."

PELIK [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now