Kepergian Pangeran Kecil

390 31 0
                                    

AKU menduga ia memanfaatkan suatu migrasi burung-burung liar untuk melarikan diri. Pagi hari ia berangkat, ia membenahi planetnya.

Gunung-gunung berapi yang masih aktif digosok-gosoknya dengan hati-hati. Ia mempunyai dua gunung yang aktif. Itu amat praktis untuk memanaskan sarapan. Ia juga mempunyai gunung yang sudah mati. Tetapi, seperti katanya,

“Siapa tahu!”

Maka gunung itu pun dibersihkannya juga. Jika dibersihkan baik-baik gunung-gunung menyala dengan pelan dan teratur, tanpa meletus. Letusan gunung api sama dengan kebakaran cerobong perapian. Tentu saja di bumi ini, kita jauh terlalu kecil untuk membersihkan gunung kita. Maka itulah gunung-gunung itu begitu menyulitkan kita.

Dengan perasaan seolah-olah menyesal, Pangeran kecil mencabuti juga tunas-tunas baobab yang tersisa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan perasaan seolah-olah menyesal, Pangeran kecil mencabuti juga tunas-tunas baobab yang tersisa. Ia menyangka tidak pernah akan kembali. Tetapi semua pekerjaan rutin itu terasa amat lembut pagi itu. Dan ketika ia menyirami bunga itu untuk terakhir kalinya dan bersiap-siap melindunginya dengan sungkup, ia tiba-tiba ingin menangis.

“Selamat tinggal, “ katanya kepada sang bunga.

Tetapi bunga itu tidak menyahut.
“Selamat tinggal,” ulangnya.

Bunga itu batuk-batuk. Tetapi bukan karena pilek.

“Aku telah berlaku bodoh,” kata bunga itu akhirnya.

“Aku mohon maaf. Mudah-mudahan kamu bahagia.”

Pangerang Kecil heran tidak diomeli. Ia terdiam kebingungan dengan sungkup di tangan. Ia tidak memahami sikap lembut dan tenang itu.

“Tentu saja aku mencintaimu,” ujar bunga itu.

“Kau tidak mengetahuinya karena kesalahanku sendiri. Tidak apa-apalah! Tetapi kamu juga sebodoh aku. Cobalah berbahagia. Biarkan sungkup itu. Aku tidak menghendakinya lagi.”

“Tetapi angin…”

“Pilekku tidak separah itu… Angin segar malam baik bagiku. Aku ini bunga.”

“Tapi binatang-binatang…”

“Aku harus tahan dengan dua-tiga ekor ulat, kalau ingin mengenal kupu-kupu. Konon begitu indah. Kalau tidak, siapa akan berkunjung? Kamu akan jauh. Kalau binatang-binatang besar, aku tidak takut, aku punya cakar.”

Dan bunga itu dengan naif menunjukkan keempat durinya. Sambungnya lagi,

“Jangan berlama-lama begini, menyebalkan! Kamu sudah memutuskan mau pergi, pergilah!"

Karena bunga tidak mau Pangeran Kecil melihatnya menangis. Ia begitu angkuh…

                                  ***

                         Bersambung

Pangeran kecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang