Chapter 2 (Erik's Side)

16 6 2
                                    

Mata kuliah hukum waris yang berlangsung selama 90 menit akhirnya selesai. Setelah dosen keluar kelas sambil menenteng laptop dan buku tebalnya, seluruh mahasiswa pun keluar satu persatu. Ada yang melanjutkan ke mata kuliah selanjutnya, ada juga yang langsung pergi nongkrong bersama teman-temannya.

Jujur saja selama di universitas ini, aku malas untuk bersosialisasi lebih jauh dengan mereka. Aku malas berurusan dengan kumpulan borjuis yang hobi nongkrong di kafe mahal dan belanja di factory outlet mahal pula. Bukan berarti secara finansial aku jauh di bawah mereka, tetapi memang pada dasarnya tak sepemikiran. Jadi aku tak begitu tahu banyak mengenai program-program kampus saat ini, selain yang telah tergambar selama ikut BEM Fakultas Hukum setahun lalu.

Di tengah perjalananku menuju tempat parkir motor, aku mengecek jadwal dalam buku catatan kecil. Pada tanggal hari ini tercantum tulisan "ngajar" berwarna biru. Untung waktunya tepat, akhirnya aku bisa melarikan diri dari lingkungan borjuis ke rutinitasku mengajar di tempat bimbel.

Biasanya aku menjadwalkan hari Selasa, Kamis, dan Sabtu untuk mengajar. Sebenarnya jadwalku tidak mutlak selalu pada hari itu. Aku bisa saja mengubah jadwal untuk minggu berikutnya bila ada kuliah tambahan atau kegiatan lainnya.

Sejak bulan kedua rutinitasku di sini, lembaga bimbel ini telah menjadi zona nyaman bagiku. Selama tiga bulan bahkan sudah kuakui lebih nyaman dibanding rumah sendiri. Baik para staf dan murid yang ramah, maupun atmosfer tempatnya yang sangat kondusif. Berlama-lama di ruang belajar tempat ini membuatku semakin menikmati profesi sampingan yang pada awalnya kulakukan hanya karena butuh pelarian. Dari kampus dan Ayah.

Terkadang aku ditanyai tentang motivasiku mau meluangkan banyak waktu untuk mengajar di tempat bimbel. Sebagian dari mereka yang bertanya-termasuk Ayah- tahu bahwa gajiku tak begitu besar.

"Daripada capek-capek ngajar di sana tapi gaji per jamnya kecil, mending ikut project gue aja," salah satu teman yang pernah satu divisi di BEM Fakultas Hukum malah menawariku untuk bekerja sama. Selama ini ia memang dikenal selalu kebanjiran project terutama di bidang desain website dan CV.
Mendengar pernyataan itu, kututup buku Pengantar Logika yang tengah dibaca. Aku diam sejenak untuk menyusun alasan yang sudah sering diutarakan setiap ada yang mengusik pekerjaanku.

"Jadi guru itu sejahtera loh. Sejahtera yang bukan cuma dilihat dari ukuran materi, tapi dari segi moral."

"Kalo kita jadi guru, kita bukan cuma dapet penghasilan dari beberapa jam ngajar. Tapi bedanya adalah, guru bisa juga bikin seseorang bahkan ribuan orang jadi juara," aku pun menguatkan pendapatku dengan salah satu kutipan yang pernah kudengar. Sejak saat itu, teman yang kebanjiran project itu akhirnya terdiam dan tak pernah lagi menawari untuk bekerja sama.

Memang benar, aku merasakan banyak sekali manfaat secara moral sejak menjadi guru bimbingan belajar. Meski aku sadar cara mengajarku masih belum matang dibanding pengajar lain, tetapi aku tetap merasa puas dengan pekerjaan ini.

Dan kini zona nyaman itu sudah berdiri gagah di hadapanku. Atmosfernya tetap ramai dan ceria seperti biasanya.

"Siang, Erik," salah satu staf front menyapaku dengan ramah setelah melayani dua orang murid yang akan mengambil kelas hari ini.

"Siang juga, Mba Fera," balasku sambil melipat lengan kemeja meran marunku sampai siku. Salah satu rekan di tempat bimbel itu pasti sudah sibuk sejak pukul 9 pagi.

"Rame kayak biasanya ya Mba?"

"Iya nih. Erik mau ambil kelas IPS kayak biasanya? Mumpung lagi banyak peminat soshum"

"Kayak biasa ajalah Mba. Lumayan buat nambah-nambah tabungan kan," baik aku maupun staf berusia 25 tahun itu tertawa seperti yang biasa dilakukan ketika sedang berbasa-basi.

"Ya udah nanti tunggu aja sampe jam 3an, soalnya ada kelas privat,"

Saat percakapan dengan Mba Fera semakin panjang, aku sempat menangkap sosok seorang murid perempuan yang baru saja memasuki ruko. Rasanya aku pernah melihatnya sekali dua kali. Rambut sebahu yang tergerai itu sedikit terayun seiring dengan langkahnya, dan begitu serasi dengan poni yang menutupi dahinya. Mungkin ia murid baru yang akan mengambil ujian masuk universitas.

Meski aku belum mengenalnya, tetapi entah kenapa aku penasaran akan dirinya yang selalu tampak sendirian itu. Atmosfernya terasa sangat berbeda dengan murid lain yang sama-sama mengikuti persiapan ujian masuk. Ketika mereka menggebu-gebu dengan impian masing-masing, mengapa ia selalu terlihat muram? Apa yang selalu bersemayam dalam pikirannya? Auranya tampak begitu kontras dengan suasana tempat bimbel ini. Ia dapat kuibaratkan seperti malam dalam cerahnya siang hari.

Perempuan berusia sekitar 18 tahun itu tertegun di tengah-tengah ruang front. Tubuhnya yang ramping itu berdiri dan tak memperlihatkan tanda-tanda akan beranjak untuk mengambil kelas. Semakin lama aku memperhatikannya, apa yang kulihat seolah menjelma menjadi adegan slow motion ketika ia membiarkan orang-orang berlalu lalang di sekitarnya dengan aura yang lebih cerah. Sebenarnya apa yang berada dalam pikirannya saat ini?

Tiba-tiba ada suatu perasaan yang semakin mendorongku untuk menghampiri untuk sekedar menyapanya. Perasaan itu bercampur antara rasa penasaran dan rasa ingin menolongnya, meski aku tak tahu persis ingin menolong dia dari apa. Siapa tahu selanjutnya ia akan mengambil kelas IPS.

Satu suara saja pasti akan memengaruhi apa yang akan terjadi selanjutnya

Kalimat yang sering kudengar sejak mengikuti BEM Fakultas Hukum itu semakin membuatku yakin untuk menyapanya walau hanya sepatah kata. Hanya satu suara.

RenaissanceWhere stories live. Discover now