Chapter 4 (Erik's Side)

13 4 0
                                    

"Kamu yakin dengan keputusan kamu?"

Niatku untuk membaca SMS masuk dari Yoana segera kuurungkan saat Ayah melontarkan pertanyaan demikian. Pertanyaan bernada tajam itu menguji konsistensi dan keberanianku mengadu nasib kedua kalinya, sekaligus sebagai kesempatan terakhirku.

"Jelas yakin. Ini kan udah jadi cita-cita Erik dari dulu," aku berusaha membuat gaya bicara dan air muka yang bisa membuat Ayah percaya dengan pengambilan keputusanku.

"Iya, Ayah tau kok, tapi apa kamu yakin bakal langsung lulus? Sementara kamu-"

"Ayah kenapa dari dulu selalu ragu sama kemampuan Erik sebagai anak sendiri?!! Sampai kapanpun Erik ngga bakal nyerah untuk menggapai apa yang dicita-citakan Ibu!" nafasku sedikit bergetar karena menumpahkan emosi dan stres yang semakin lama semakin bertumpuk karena memikirkan nasibku di ujian besok. Ketegangan akibat mempertaruhkan nasibku untuk kedua kalinya malah diperkeruh oleh pesimisme seorang ayah kepada anaknya sendiri.

"Tapi Erik, setidaknya kamu pikir konsekuensinya ke depannya. Kamu selama setahun ini ogah-ogahan kuliah di universitas yang sekarang. Yang namanya gambling dalam urusan karier itu ngga akan membawa kamu pada hal yang baik. Tolong pikirkan itu baik-baik!"

Kata-kata Ayah barusan bukan hanya membalas emosiku, namun menyadarkanku pada suatu realita menyakitkan. Realita menyakitkan akan sifat idealisme berlebihan yang menjauhkanku dari totalitas berkuliah di universitas yang sama sekali tak kuharapkan. Namun, bila paham itu kulenyapkan, kapan aku akan mampu membahagiakan Ibu?

"Lihat saja nanti! Erik pasti bisa lulus. Erik ngga peduli seburuk apapun IP di kampus yang sekarang, karena Erik yakin bakalan lulus ujian dan segera keluar dari sana."

Ayah terdiam mendengar kata-kataku tadi. Ia hanya menghela nafas, entah pasrah dengan keputusanku atau sudah puas dengan konsistensiku.

"Oke, kalau itu jadi keputusan dan tanggung jawab kamu sepenuhnya, memuaskan atau ngganya. Semuanya, terserah kamu."

Ayah berlalu dari percakapan dan beralih pada kesibukannya menyusun proposal bisnis. Kubiarkan ia tenggelam kembali dalam rutinitas membosankannya, sementara aku menjauh dari meja kerja Ayah dan menuju ke kamar tidur. Aku harus segera memperbaiki suasana hati agar tetap optimis menghadapi ujian besok.

Bu... jangan khawatir. Erik bakal bikin Ibu tersenyum dengan kesuksesan Erik

***

"Untuk yang hari ini mengikuti ujian seleksi masuk universitas, semangat ya. Ingat, jangan pernah merasa gentar sebelum berperang. Kalian pasti bisa."

Pesan itu kukirim pada beberapa murid privat dan reguler yang hari ini mengikuti ujian. Yoana pun termasuk di dalamnya. Namun begitu melihat namanya di daftar kontak ponselku, seperti ada energi misterius yang mendorongku untuk menanyakan persiapan belajarnya.

"Udah lumayan sih Kak. Aku tinggal baca-baca aja soal latihan sama rangkuman yang udah ditulis pas belajar sama Kakak."

Dalam hatiku mengalir perasaan lega sekaligus bangga karena eksistensiku diakui secara utuh sebagai teman seperjuangannya. Aku masih ingat persis bagaimana ia mengukir senyum saat aku memberinya motivasi di hari terakhir kelas sukarela. Dan aku ingin setelah ujian pun ia dapat menjaga senyuman itu dan mengusir jauh-jauh ekspresi sendunya.

Pukul 7 pagi Ayah sudah tak terlihat di berbagai sudut di rumah. Mungkin ia berangkat lebih dulu untuk mengurus sesuatu di kantornya. Entahlah, aku tak begitu peduli. Pikiranku terlalu semrawut untuk mengurus banyak hal termasuk yang membuat suasana hatiku semakin kacau. Biarkan saja ia pergi, aku tak mengharapkan kata-kata manis darinya. Lagipula itu tak akan mengubah hubunganku dengan Ayah menjadi hangat.

RenaissanceWhere stories live. Discover now