Chapter 8 (Erik's Side)

5 3 3
                                    

"Untuk ikhwan baris di sebelah kiri saya, dan untuk akhwat di sebelah kanan saya. Selama kegiatan tolong jaga jarak agar ikhwan dan akhwat tidak berdekatan."

Setelah ibadah Salat Subuh berjamaah, para calon pengurus bersiap untuk melakukan kegiatan pembuka Minggu pagi. Aku dan peserta lainnya berbaris dengan rapi di atas lapangan rumput menghadap sekretariat, sedangkan tas kami yang berisi alat salat dan bekal secukupnya disimpan di sebelah kanan. Rasa penasaran yang bergelayut saat ini tak ada bedanya dengan mahasiswa baru yang pertama kali mengikuti ospek kampus.

Kegiatan pembinaan calon pengurus ini telah berjalan selama dua hari. Hari pertama dimulai pada pukul 12 siang dan dibuka dengan Salat Dzuhur berjamaah lalu diikuti oleh rangkaian acara seperti perkenalan pengurus senior dan alumni. Dalam beberapa kesempatan aku mencatat istilah-istilah yang sering digunakan selama berdiskusi. Alhasil buku catatan kecilku telah terisi oleh bernomor-nomor kata yang selanjutnya akan kucari di internet. Bila sedang melakukan kegiatan seperti permainan di luar ruangan dan tak sempat mencatat, kadang aku menanyakannya pada salah satu calon pengurus saat itu juga. Lalu catatan kulengkapi dengan artinya ketika menjelang waktu tidur.

Apel pagi pada hari kedua pembinaan ini dipimpin oleh anggota senior lelaki bersuara lantang dan diberi sambutan oleh Kak Hafidz, sang ketua organisasi. Sambutan itu berisi secuil amanat untuk anggota baru agar ke depannya bisa memperkuat ukhuwah antar anggota dan rangkaian basa-basi yang mengekorinya. Sambutan ditutup dengan kutipan dari salah satu sahabat Rasulullah tentang ikatan persaudaraan.

Sejak apel pagi hingga dibukanya sesi kajian internal, masih banyak hal yang belum kumengerti. Misalnya istilah "muhasabah diri", dan sebagainya yang kerap kutanyakan pada salah satu anggota di sampingku. Untunglah orang yang kutanyai itu kelihatannya sudah memiliki pengalaman di organisasi keislaman karena bisa menjawab seluruh pertanyaanku dengan baik. Penampilannya pun cukup mendeskripsikan hal itu. Pakaian rapi nan sederhana, juga sejumput janggut yang terpelihara dengan baik dalam rangka menjalankan sunnah Rasul.

Tepatnya sehabis Salat Ashar berjamaah, acara Open House selesai. Meskipun begitu, para anggota baru tidak segera pulang, mereka masih saling berinteraksi satu sama lain demi memperkuat ikatan persaudaraan yang sering disebut Ukhuwah Islamiyah. Lalu mendiskusikan sekaligus merenungkan berbagai fenomena untuk suatu proses muhasabah diri. Yah, kini aku sudah mengerti istilah itu! Mencoba mengaplikasikan apa yang telah kudapat hari ini, cepat-cepat aku berbaur dengan sekumpulan anggota.

Aku disambut oleh jabat tangan beberapa akhi (sebutan untuk anggota laki-laki) yang tersenyum ramah sambil memperkenalkan nama. Namun ketika aku mengulurkan tangan kepada ukhti (sebutan untuk anggota perempuan), mereka mundur selangkah dengan ekspresi segannya.

"Anta cukup katupkan dua telapak tangan depan dada aja kalau menyalami ukhti. Kayak begini," ujar salah satu dari para akhi sambil mencontohkan sikap salam, "Karena dalam Islam kan ngga boleh kontak fisik dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya."

Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya. Segera aku meminta maaf pada para ukhti atas sikapku barusan. Setelah itu percakapan antara kami mengalir dengan baik, meski interaksi secara fisik sangat terbatas. Bahkan aku sama sekali tak menemukan tatap mata langsung antar lawan jenis. Diam-diam aku kagum meskipun jarak interaksi antara lawan jenis sangat diatur, tetapi tidak menjadikan tali persaudaraan mustahil untuk dijalin antara keduanya.

"Ngomong-ngomong, selamat ya udah jadi bagian dari organisasi ini." Salah satu pengurus senior berbaur dalam forum kecil pengurus baru dan menyalami kami satu persatu dengan cara yang biasa para akhi lakukan. Intonasi bicaranya lembut namun tersirat suatu ketegasan yang mungkin akan keluar bila sedang mendiskusikan hal-hal serius. Ia menimbrung bersama seorang laki-laki berbaju koko warna coklat tua.

RenaissanceWhere stories live. Discover now