Lembar Keempat

1.4K 136 14
                                    


JIKA

Jika memetik gitarnya pelan sembari menutup matanya, terlihat sangat menikmati permainannya dan itu membuat kondisi fisiknya yang sempat drop berangsur – angsur membaik dan normal kembali. Dan saat Jika seperti itu tidak ada yang berani mengganggu. Jika selalu tersenyum saat bersentuhan dengan musik dan senyum itu terlihat sangat tulus. Sungguh demi apapun tidak ada yang ingin kehilangan senyuman manis Jika. Anak laki – laki pemilik senyuman manis itu selalu memberi kebahagiaan tersendiri untuk mereka. Suara batuk Jika membuat mereka mendongak dan buru – buru mendekat ke arah Jika yang tengah mencengkeram kuat bagian dadanya dan mengatur nafasnya. 

"Jika??" Nira menjauhkan gitar kesayangan cucunya agar mempermudah Dhani menangani kondisi Jika. 

"Atur nafas kamu Jika," Jika menggeleng lemah, dia tidak bisa bernafas. \

"Kambuh lagi, dan ini udah kesekian, kita harus mengambil tindakan," mereka saling menggenggam menatap Jika yang sedang mendapat penanganan. Tidak biasanya Jika seperti ini, tidak biasanya anak laki – laki itu kambuh ketika bersama musik, dan itu bisa menjadi sebuah pertanda, bahwa Jika mungkin tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.



JIKA



Nathan menyandang gitar di pundaknya, menatap nanar Jika yang terbaring lemah di atas ranjang, ada selang oksigen yang bertengger manis di hidung menggemaskan kepunyaan Jika. Nathan menghela nafas panjang memutuskan untuk masuk ke dalam dan membuat Jika membuka matanya. 

"Ekh, gue ganggu ??" Jika menggeleng berusaha bangkit dari posisinya Nathan dengan segera membantu Jika menyamankan posisinya. 

"Lo udah oke??" tanya Nathan mengambil tempat di kursi sebelah ranjang, Jika hanya tersenyum. 

"Kalau masih pake selang dan belum bisa main, itu artinya belum baik buat gue," Nathan mengangguk, matanya menelusuri ruang vvip yang sudah satu hari di huni Jika. 

"Alvin sama Rifki mana??"

"Mereka nyusul katanya,"

"Lo main gitar juga Nath??" Nathan mengangguk, selain rokok gitar juga berfungsi sebagai penenang hatinya.

 "Lo mau kolaborasi sama gue??" Nathan mengerjap menatap Jika yang memasang ekspresi memohon. 

"Boleh,"

"Ambilin gitar gue disana," Nathan mengangguk mengambil gitar yang tersimpan rapi di atas sofa. 

"Yakin lo mau main?? Tangan lo masih ada infus sama oximeter kan??" Jika tersenyum melepas kedua alat itu membuat mata Nathan membola. 

"Lo gila," Jika hanya menunjukkan cengirannya. 

"Gue gak bisa main gitar kalau masih ada dua benda mengerikan itu, siniin," Nathan hanya memutar bola matanya sebal, menurut saja. 

"Lo emang bego Ka,"

"Biarin, penting gue ganteng,"

"Narsis lo, nakal banget sii jadi orang, emang lo gak mikirin orang yang khawatir sama lo??" Jika terdiam sebentar kemudian menghela nafas panjang. 

"Gue terlalu capek buat dikhawatirin, udah main yok!" Nathan mengangguk, memilih menuruti apa kemauan Jika, kalau itu membuat Jika nyaman, kenapa tidak. Nathan tersenyum melihat Jika menikmati permainannya, hatinya tersentil melihat senyuman manis yang tersemat di bibir Jika. Matanya terasa panas saat mengingat bagaimana kondisi Jika sekarang, Nathan berharap bisa melihat senyuman Jika lebih lama.

JIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang