BAB 2: Calon Istri Pak Dokter

135K 9.3K 325
                                    

...

Sore ini tampak lebih tenang dari biasanya. Suara rintikan hujan lebih mendominasi jalanan yang padat karena sudah jam pulang kerja. Arham mendengus beberapa kali, ia harus pulang terlambat dan gagal menemui perempuan yang katanya "calon istrinya" itu.

Namun, ia sedikit bersyukur. Setidaknya, tidak perlu susah-susah untuk mencari alasan membatalkan pertemuan. Kan alasannya sudah jelas, menyelamatkan nyawa! Keselamatan pasien lbih utama, betul bukan?

Satu belokan lagi, Arham sampai di rumah orang tuanya. Ia terpaksa datang, karena harus laporan jika ia tidak datang menemui perempuan itu akibat kesibukannya.

Baru saja mobilnya berhenti, Bu Wanti sudah keluar dari rumah sambil menenteng tasnya.

"Arham, ayo ke rumah sakit sekarang juga. Calon mantu Ibu..." ucap Bu Wanti yang sudah naik ke kursi samping mobil Avanza milik Arham.

"Lho, siapa yang sakit, Bu?" tanya Arham kebingungan, tetapi tidak ditanggapi oleh Bu Wanti. Perasaan, seluruh anggota keluarganya sehat walafiat.

Arham menaiki mobilnya, lalu memasang seat belt sebelum mengemudi. Sebenarnya, ia sendiri tidak tahu siapa yang sakit. Jadi, hanya mengikuti ibunya saja.

"Rumah sakit mana, Bu?" tanya Arham sambil fokus menyetir. Dan, pertanyaannya diabaikan ibunya begitu saja.

Jalanan lumayan lenggang, mungkin karena hujan. Beberapa pengendara memilih untuk menepi di pinggir jalan dan sisanya menggunakan jas hujan.

Sejak tadi, Bu Wanti tidak menjawab pertanyaan Arham. Kemarin, Bu Wanti getol memintanya menikah dan sekarang memintanya mengantar ke rumah sakit tanpa penjelasan sedikit pun. Setidaknya, ia diberi sedikit clue, supaya paham. Toh, ia tidak diberi tahu di rumah sakit yang dimaksud ibunya.

"Sebenarnya, rumah sakit yang mana sih, Bu? Arham jadi bingung. Rumah sakit di Jogja itu banyak, enggak cuma satu..." gerutu Arham ketika mereka berhenti di lampu merah. Ia sudah bosan dikacangin oleh ibunya yang asyik berkutat dengan handphone, menjadikannya sopir dadakan.

"Oh, iya, ya, Ibu lupa tanya. Rumah sakit apa, ya? Bentar, Ibu tanya dulu sama calon besan," ucap Bu Wanti heboh sambil mengirimkan pesan dengan handphone barunya, hasil rengekan kepada Arham tempo hari karena iri dengan handphone Bu Siti, tetangga sebelah yang anaknya baru pulang dari berlayar.

Namun, fokus pendengaran Arham hanya pada kata, "calon besan" yang ibunya lontarkan. Itu artinya, ia akan bertemu dengan perempuan itu, dong? Niat hati menghindari, tetapi bertemu juga. Padahal, Arham sudah sangat bersyukur dengan padatnya jadwal di rumah sakit agar tidak perlu datang menemui perempuan itu. Sayangnya, Tuhan berkata lain.

Ingin rasanya Arham berkata kotor. Ah, kotor! Bukankah kotor itu baik?

Otaknya terasa ingin konslet saja. Diliriknya ibunya yang asyik memainkan handphone-nya.

"Jadi, mau ke mana ini, Bu? Udah tanya, belum?" tanya Arham lagi. Ia tidak mau memutari Jogja, seperti tempo hari karena ibunya mencoba fitur gmaps. Ia sayang dengan bensin, apalagi harga BBM sedang naik.

"Tenang ... nanti Ibu arahkan. Ini sudah dikasih tunjuk jalan pakai sarelok," ucap Bu Wanti susah payah, membuat Arham berpikir keras.

"Maksudnya, shareloc? Begitu?" tanya Arham memastikan ucapan ibunya.

Ibunya mengangguk dengan semangat. Sebenarnya tinggal menyebut saja namanya, Arham langsung on the way ke sana. Namun, jika dia menyela, pasti ibunya akan merajuk seperti ABG puber karena tidak dituruti kemauannya. Jadilah Arham mengikuti arahan ibunya untuk belok kanan, lalu kiri, kanan, kiri, begitulah seterusnya, hingga mereka sampai di sebuah rumah sakit di mana Arham bekerja.

JODOH PAK DOKTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang