DELAPAN BELAS

30.5K 1.3K 465
                                    

Tanpa disadarinya air matanya membasahi pipinya. Sebentar lagi, aku akan kehilangan laki-laki yang aku cintai, keluhnya. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Pernikahan ini terlalu menyakitkan bagiku. Lalu bagaimana dengan nasib anakku kelak? Bagaimana hidupku nanti? Ernaldi pasti akan keluar dari perusahaan ayahnya dan kembali ke kehidupan lamanya. Dan aku.... Aku tidak tahu harus berbuat apa! Aku tidak punya pekerjaan. Aku tidak punya uang. Aku tidak punya tujuan.

Aku akan hidup nelangsa sementara Ernaldi kembali ke pelukan wanita itu.

Ponselnya bergetar. Dikeluarkannya ponsel itu dari kantong celananya. Terdapat pesan singkat dari Rio.

Why are you crying?

Received.

Dari mana Rio tahu aku sedang menangis? Savarina membalas pesan itu.

I don't understand.

Sent.

Sorry, my feeling just said so. Please tell me you're ok.

Received.

It's okay, Rio.

Sent.

Good. So what's the birthday girl up to today?

Received.

Savarina hampir tidak memercayai keadaan ini. Hari ini adalah hari ulang tahunnya! Cepat-cepat ia membuka Whatsapp dan terdapat pesan dari Fathir dan Guido saja. Tidak ada pesan sama sekali dari suaminya! Ha! Lambat-lambat Savarina tertawa miris. Suaminya tidak pernah mengucapkan ulang tahun padanya! Selama menikah Ernaldi tidak pernah menganggap ada yang penting pada hari ulang tahunnya. Menyedihkan memang di saat Savarina tidak pernah lupa dengan ulang tahun suaminya. Setiap Ernaldi ulang tahun, ia meminta sekretaris suaminya untuk membantunya membuat surprise di kantor dan setelah itu ia dan suaminya merayakan ulang tahun di kantor dengan karyawan-karyawan suaminya. Ia bahkan memberi kado pada suaminya.

Dan ia tidak pernah memperoleh hal yang sama dari suaminya.

Tak lama ponselnya berbunyi. Diangkatnya telepon dari Rio. "Ya, Rio."

"Hai, Savarina. Selamat ulang tahun, ya."

"Terima kasih banyak ya, Rio. Kayaknya, ada yang mau ngasi kado, nih!" Savarina tertawa.

"Enak saja! Yang ulang tahun dong yang ntraktir! Gimana kalau kita makan-makan? Hari ini aku pulang sore. Ajak suamimu kalau perlu!"

"Kalau tidak mahal-mahal, aku sih mau saja."

"Istri direktur utama nggak mau bayar mahal?" Terdengar Rio berdecak. "Oke, deh. Kasi tau aja tempatnya. Aku pasti senang dengan tempat pilihanmu, Riri!"

"Oke, nanti aku SMS."

Savarina segera turun dan bersiap-siap. Keadaan rumah masih sama saja; sepi! Seperti tidak ada kehidupan di sana. Barangkali suaminya masih sibuk. Savarina memberitahu suaminya melalui pesan singkat untuk bertemu di restoran favoritnya jika ada waktu. Dan seperti yang sudah diduga, Ernaldi membalasnya dengan; Kamu saja sendiri, nanti minta jemput sopir untuk pulang!. Ya, tentu saja. Sifat menyebalkan suaminya masih ada meskipun katanya Ernaldi mau berusaha untuk punya pernikahan yang sesungguhnya. Huh! Boro-boro pernikahan yang sesungguhnya. Ingat pun pada hari ultahnya juga tidak!

Tapi Savarina tidak mau membiarkan kecuekan suaminya menghancurkan hari ini. Sudah lama ia tidak merayakan ulang tahunnya dengan makan di luar. Meskipun dengan Rio, ia tidak masalah. Dulu saat di Amerika temannya itu selalu menjadi teman bicara yang asyik. Begitu hari mulai sore, ia meninggalkan rumah. Tanpa sopir! Jarak dari rumah ke restoran tidak terlalu jauh, hanya satu setengah kilometer. Tidak macet, lagi, karena kawasan masih dekat komplek. Selain itu ia juga mau mengetes kemampuannya menyetir setelah jarang melakukannya.

Ia sudah lama tidak ke restoran itu. Bukan menu utama yang dinantikannya, melainkan makanan penutupnya yaitu caramel pudding yang enak banget. Ketika ia masuk ke restoran, Rio sudah duduk menunggunya dengan sebuah kotak di tangannya. "Happy birthday, Ri. Harganya memang tidak mahal, tapi mohon diterima, ya." Rio menyodorkannya kotak itu.

"Ah, kamu kayak sama siapa saja. Kamu kasi barang apa pasti akan kuterima dengan senang hati." Savarina tertawa dan duduk di seberang sahabatnya itu. "Maaf suamiku tidak bisa datang. Biasa, pekerjaan."

Rio duduk. "Ya sudah kuduga. Tapi nggak apa-apa nih kamu berdua saja denganku?"

"Memangnya, kamu takut?" gurau Savarina.

"Ya, lumayan. Kalau ditanya nyawa atau dirimu, aku pasti lebih milih nyawa!" Rio terkekeh. "Suamimu nggak kasar, kan?"

"Mana kutahu. Dia selalu baik." Biar saja temannya tidak perlu aib rumah tangganya.

"Hmm... Oke, kamu mau pesan apa?"

"Masa teman sendiri tidak tahu menu kesukaanku?"

"Ha, oke." Rio memanggil pelayan untuk memesan dua salmon belly soup dan tak lupa untuk menambahkan, "Tolong caramel pudding-nya dikeluarkan lebih dulu, ya." Setelah pelayan pergi, Rio memastikan, "Did I get it correct?"

"Yup." Savarina tersenyum senang.

"Aku masih ingat kamu susah makan kalau tidak didahului yang manis."

Sambil menunggu makanan mereka membicarakan banyak hal. Rio mempelajari kegiatan Savarina di yayasan peduli anak. Ia mengangguk-angguk, kemudian dilanjuti dengan topik mengenai pekerjaan Rio yang melelahkannya bahkan ia sampai dua kali kerokan karena pulang malam terus. Savarina tertawa menanggapi itu karena selama ini dikenalnya Rio sebagai orang modern, nggak pernah tuh yang tahu namanya pengobatan tradisional seperti kerok mengerok. Sampai makanan datang, mereka terus bercerita mengenai kehidupan masing-masing dan akhirnya mereka menyadari hari sudah mulai malam. Sudah pukul delapan.

Jangan Lukai Hatiku Lagi (COMPLETED)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ