BAB 3: Mulai dari Awal

9K 1K 16
                                    


Dei

Kaki kami basah oleh rintik hujan. Bercak tanah menempel pada ujung celana berwarna khaki yang kukenakan. Kami baru saja menghabiskan satu hidangan istimewa di Surabaya. Sebuah warung kaki lima yang menjual sego sambel dengan tingkat pedas yang berbeda. Tergantung pembeli minta yang pedas atau sedang. Warga Ketintang, khususnya anak-anak kos di sini, menyebutnya sego sambel kuburan.

Bukan tanpa alasan mereka menyebutnya seperti itu. Selain rasa sambalnya yang pedas, layaknya kuburan yang seram. Warung sego sambel tersebut juga berdiri tepat di sebelah kuburan. Tapi, tak perlu membayangkan tempat itu seram, karena kuburan itu berdiri tepat di tepi jalan raya.

Di sebelahku, Lim meneguk teh hangatnya sampai habis. Ia tersenyum, dan berseru, "Ini nikmat!" Ia mengacungkan jempolnya ke arahku. Menandakan pilihan makan malam yang bagus.

"Kau tak berencana tidur lebih awal, kan?" Lim membukakan pintu mobil untukku. "Aku ingin jalan-jalan malam ini, sebelum besok kembali ke Bandung."

Aku menguap lebar-lebar, "Aku benar-benar sudah mengantuk."

Dia berdecak, "Ckckck. Temanmu ini jauh-jauh dari Bandung hanya untuk menemuimu. Seperti inikah sambutanmu?" Lim berpura-pura kesal. Dia menarik sudut bibirnya. Senyum miring lelaki itu menjadi daya tarik tersendiri. Dulu, sebelum kami benar-benar saling mengenal, senyum miring lelaki itu kuanggap sebagai cemooh.

"Bagaimana, ya? Aku lelah sekali hari ini," godaku, "tapi demi sahabatku yang sudah jauh-jauh datang dari Bandung. Ehm, tidak masalah aku tidur lebih larut malam ini."

Lim tersenyum.

Sepuluh menit kemudian, kami sudah sampai di Taman Bungkul Surabaya. Warga sini, biasanya menyebutnya Tambun. Tambun terletak di Jl. Darmo. Untuk mencapainya, kami harus memutar dari Jl. Diponegoro.

Lim membeli kacang mete, dan dua cup cappuccino sebelum akhirnya kami duduk di tepi lapangan skateboard. Tempat anak-anak pecinta skateboard bermain.

"Dari dulu aku ingin main skateboard, tapi tak pernah bisa," ucap Lim. Ia berkata sembari memakan kacang metenya.

"Kau dari dulu memang tak jago berolahraga, Lim. Jangan memaksakan diri," komentarku. Ia terkekeh.

"Maka dari itu, Dei. Aku memilih menjadi wartawan olahraga."

"Kau satu-satunya laki-laki yang kukenal, yang lemah dalam olahraga."

"Aku tersanjung, Dei." Kami sama-sama tertawa. Aku menyesap cappuccino.

Kami sama-sama diam. Memperhatikan anak-anak remaja di depan kami memainkan papan seluncur di kaki mereka. Salah satu remaja menarik perhatian kami, dia berseluncur dari tempat yang tinggi kemudian berputar dan mendarat dengan mulus.

"Wuuu!" Lim berseru, sembari bertepuk tangan. Dengan sangat antusias. "Kau lihat barusan?" tanyanya padaku. Aku mengangguk. Wajahnya berseri. Lim selalu menyukai olahraga, meskipun ia tak bisa melakukannya dengan benar.

Ketika kami masih duduk di sekolah menengah pertama. Lim satu-satunya laki-laki yang tertinggal saat lari maraton. Kecepatan larinya benar-benar seperti keong. Bahkan, aku bisa mendahuluinya waktu itu.

"Kau tak mengabadikannya?" tanyaku.

"Ah, kau benar," serunya. Ia pergi mengambil kameranya di mobil, dan kembali dengan membawa kamera nikon.

"Pegang ini," ia menyerahkan tas kamera miliknya padaku. Kemudian ia berlari mengambil gambar remaja yang mengagumkan tadi.

"Ayo, beri aku atraksi yang bagus!" seru Lim pada mereka. Tampaknya, seruan Lim memberi semangat tersendiri bagi remaja tersebut. Terlihat mereka benar-benar memberikan pertunjukan bagus pada Lim.

"Yeaah ..." Lim berseru lagi. "Kau keren, Bung!" ucapnya pada remaja laki-laki tersebut. Lim mengacungkan tangannya ke arah remaja tersebut, dan mereka melakukan tos.

"Dia keren sekali," ucap Lim ketika kembali duduk di dekatku. "Benar-benar menakjubkan!" Aku bisa melihat kilatan dalam matanya. Saat ini, dunia Lim sedang teralihkan. Ia tak sadar betapa itu membuatnya terlihat lebih menarik.

"Kau benar-benar menikmatinya."

"Ya," balasnya. Lim mengatur napasnya dan meminum kembali kopi miliknya. "Ehm, omong-omong, apa selama ini kau masih sendiri?"

Aku menoleh ke arahnya. Kami saling memandang satu sama lain. Bibir tipis milik Lim sedikit terbuka. Kedua matanya menanti jawaban. Entah untuk apa ia bertanya, sekadar basa basi atau memastikan sesuatu. Aku sendiri, tak pernah memikirkan hal ini.

"Ya," sahutku, "aku masih sendiri."

***

LIM

Dei mempunyai lesung pipi pada pipi sebelah kanan. Saat ia tersenyum lesung itu akan terlihat jelas, dan membuatnya tampak lebih menarik. Hidung Dei mancung, giginya besar, dan memiliki senyum yang lebar. Rambut Dei hitam bergelombang, dengan kulit cokelat yang bersih.

Satu kata yang bisa menggambarkan bagaimana Dei. Manis, sesuai dengan namanya, Madeira.

Dei yang kukenal dahulu adalah sosok perempuan yang tak bisa diam. Ia jago dalam lari maraton, renang, bahkan sepak bola. Kulit cokelatnya itu ia dapatkan dari kegiatan luar itu. Saat teman-teman perempuan sebayanya membeli bedak, Dei lebih memilih membeli bola baru untuk kami mainkan bersama.

Kini, Dei yang duduk di sebelahku adalah orang yang berbeda. Aku tak tahu pasti di mana letak perbedaan itu. Yang terlihat jelas saat ini adalah, kulitnya sudah tak segelap dulu dan ia terlihat anggun dengan pewarna di bibirnya.

Aku sangsi jika Dei tak memiliki kekasih.

***

DEI

"Ya, aku masih sendiri."

Selama ini, aku tak pernah berusaha berdusta pada Lim. Bagiku, Lim adalah salah satu bagian dalam jiwaku. Apa yang kualami, aku akan memberitahu Lim segera. Hanya dua kali aku menyembunyikan sesuatu dari Lim. Pertama mengenai cinta pertamaku, kedua adalah kalimat yang kuucapkan barusan.

"Bagaimana denganmu?" tanyaku balik. Lim lelaki populer di sekolah. Lelaki yang mudah berbaur dengan teman perempuan, lelaki yang menyenangkan, seakan dekat dengannya tidak ada batas antara teman baru dan teman lama. Tentunya, dia pasti punya teman perempuan yang dekat dengannya. Entah itu benar-benar kekasihnya, atau sekadar main-main.

"Seharusnya kemarin kami berkencan," jawabnya santai. Seperti dugaanku, Lim selalu begitu. "Karena pekerjaan sialan ini, aku harus membatalkannya." Gerutunya. Aku hanya tersenyum. "Kau tahu? Sulit sekali mengajak dia berkencan. Maklum, model yang baru naik daun."

"Paling tidak, kau bertemu denganku," ucapku. Aku menghabiskan sisa kopiku.

"Ya, kau benar." Dia mendesah. "Omong-omong, kami belum resmi bersama."

Kualihkan pandanganku ke arahnya sembari mengangkat kedua alisku.

"Aku dan Rebeca," ujarnya, seakan mengerti apa yang kupikirkan. "Kau tahu, aku baru main-main dengannya." Lim terkekeh.

"Oh."

Sebuah pesan masuk dalam ponselku. Aku mengeceknya. Dari seseorang. Setelah selesai membaca isi pesan tersebut, aku buru-buru menyimpan kembali ponselku.

"Dari siapa?" Lim menyelidik. Mungkin, karena mendadak aku menjadi cemas.

"Bukan siapa-siapa," sahutku. "Sudah larut. Sebaiknya kita pulang."

"Sebentar lagi, Dei. Ini masih sore," tolak Lim.

"Aku harus memanggang roti besok."

Lim mendesah. "Ah, baiklah."

***

Seseorang yang kurahasiakan dari Lim sedang berdiri di depan pintu apartemenku. Ia membawa sebuket bunga, senyuman, dan ciuman.

"Aku rindu sekali," lirihku. Aku bisa merasakan deru napasnya di telingaku. Kurasakan tubuhku berdesir hebat.

"Aku juga."

Kubuka pintu apartemen, membiarkan lelaki itu bersamaku, hingga waktunya ia pergi.

***

MADEIRA [Sudah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang