keenam

3K 539 565
                                    

Bagas

Sama halnya seperti waktu Harry Potter mengucap mantra wingardium levi-o-sa sampai lancar. Gue pun melakukan hal yang sama untuk meyakinkan diri kalau yang namanya Maura itu nggak cuma satu di dunia ini. Yang bertuliskan nama itu di Kartu Keluarganya, ataupun di KTP nya pasti sangat banyak. Jadi, sangatlah tidak mungkin, kalau Maura yang Gani sebut itu Maura yang itu. Tapi tetap aja gue nggak memungkiri feeling gue sendiri, kalau Maura maksud Gani ya... yang itu.

The was-never-mine Maura Amalia.

Gue sebenarnya nggak mau berharap itu Maura, dan gue terlalu takut untuk berpikir apa yang selanjutnya harus gue lakukan jika itu Maura. Alasan nomor satu, gue nggak mau sakit hati. Nomor dua, gue nggak mau sakitin hati orang.

Ya sudah lah, bagian belum pasti itu kita tinggalkan dulu sejenak. Sekarang waktunya menyelamati diri sendiri karena akhirnya keluar juga gue dari kantor dan sekitarnya. Kali ini, selain menunaikan tugas dari bos, gue juga menunaikan tugas dari senior. Iye, si bang Deva yang sudah berumur itu minta tolong gue untuk kirim titipan istrinya ke daerah deket-deket sini. Gue nggak masalah, walaupun jadi mirip kurir antar barang, tapi setidaknya gue bisa menghirup udara bebas dulu sebentar. Lumayan juga kan refreshing seselesai meeting panjang nan garing.

Dan lumayan juga buat rehat sejenak dari pikiran tentang nama Maura yang disebut Gani, dan Maura yang adiknya abang Deva.

Disini lah gue sekarang. Sedang berada ditengah-tengah perjalanan mengasyikan seorang diri. Enak, rasanya kayak lagi melancong ala-ala turis. Gue lagi-lagi terlihat norak begini ya.

Yasudah, bagian gue norak nggak usah diperpanjang.

Lebih baik sekarang gue kembali fokus ke alamat tujuan yang dikasih bang Deva. Gue mulai curiga ini jangan-jangan trap atau acara kena deh. Gue dijailin kali, ya? Tadi gue rasa enak aja bisa jalan-jalan. Tapi pada kenyataannya, gue ini lagi kebingungan.

Katanya setelah gue berhenti mobil, jalan lima menit juga udah keliatan tempatnya. Lah ini, bro, gue udah jalan lima belas menit dibawah terik matahari siang, masih gak ketemu-ketemu juga. Dan parahnya, setiap gue bertanya apa alamat ini masih jauh, orang-orang disekitar sini bilang 'ini sedikit lagi, bli, disitu.' Disitu dimane bliii... ini nyatanya gue nggak sampe-sampe.

Gue hampir menyerah. Tapi dari kecil, gue sudah diajarkan, atau mungkin gue mengajarkan diri gue sendiri untuk berhenti sebentar dan istirahat kalau udah buntu banget belajar atau lagi ada masalah. Trik ini gue lakukan lagi sekarang. Gue yang antara istirahat dan minta ampun ini melipir sebentar ke warung. Duduk, sambil beli teh manis kemasan favorit dari dulu.

Dengan keringat bercucuran dan nafas masih terengah-engah karena jalan udah kelewat panjang. Gue bertanya pada si ibu yang menjaga warung. Kali-kali ibu yang ini nggak PHP lagi kayak yang sebelum-sebelumnya gue tanyain alamat ini.

"Bu, maaf, saya mau tanya, kalo sekolah harapan dimana ya, bu?"

Si ibu tersenyum, "Disitu." Katanya, sambil menunjuk sebrang jalan yang didepannya berdiri kokoh sebuah plang bertuliskan nama sekolah tersebut.

Ibu ini pembawa keberuntungan. Tapi gue jadi tengsin sendiri. Seakan-akan plang segede gaban gitu nggak keliatan dan nggak terbaca jelas.

Setelah berterimakasih, dan bayar jajanan yang sebelumnya. Gue pamit utuk menyebrang ke sekolah tersebut. Nggak bisa bohong sih, gue kepo juga. Siapa yang bang Deva dan istrinya kenal di sekolah maha terpencil begini?

Sambil masih kepingin tahu. Gue jalan pelan-pelan masuk ke sekolah ini. Tempatnya cukup teduh, bangunannya bangunan lama, tapi bersih. Terdapat satu quotes bertuliskan "Dream big, Work bigger, Achieve best" Tertempel di sebuah dinding. Dibawah tulisan tersebut, berjajar hasil karya anak-anak SD. Mulai dari gambar, puisi, prakarya, semuanya ada.

nepentheWhere stories live. Discover now