Menangis Semalam

60 3 1
                                    

"Pak Atha sudah pulang, Bu," suara Rika sekretaris Atha membuatku kecewa.

Sepulang mengantar Aubrey, aku memutuskan untuk datang ke kantor Atha karena ponselnya tidak bisa dihubungi. Kebetulan jaraknya juga tidak terlalu jauh.

"Dia bilang mau kemana?" tanyaku pelan.

"Lho Ibu gak tau? Pak Anggoro kan masuk rumah sakit," ucap Rika sambil menatap aku kebingungan.

Aku segera mengangguk, "Ya udah, makasih ya, Rika."

Aku berpamitan lalu segera berlalu dari hadapan Rika membawa sejuta kekecewaan.

Setelah masuk ke dalam mobil, aku menarik napas panjang sambil menyandarkan kepala di bantalan kursi mobil. Hal ini yang membuat aku dan Atha seperti merentang jarak begitu jauh. Atha seringkali tidak mau terbuka tentang keluarganya hanya karena mereka menentang pernikahan kami.

Tapi mau sampai kapan?

Aubrey sudah mulai besar dan aku merasa masih belum bisa diterima di keluarga besar Anggoro Suryo Pratikno.

Atha adalah anak laki-laki paling tua. Adiknya tiga orang, dua laki-laki dan satu perempuan. Dengan mereka pun aku bahkan merasa tidak nyaman karena sikap sinis dan penolakan yang terang-terangan mereka tunjukkan.

Tapi Atha begitu mencintaiku, berusaha mempertahankan aku dan berjanji akan selalu menjagaku. Soal keluarganya yang belum juga memberikan restu, ia selalu memelukku dan berulangkali memintaku untuk bersabar.

Ya bersabar atas semua perlakuan buruk mereka padaku yang semakin lama semakin tidak bisa aku tolelir.

Aku ingat suatu kali saat Atha pulang terlambat ke rumah. Pesan dan teleponku tidak kunjung dijawab. Seketika aku gelisah dan cemas. Jangan-jangan sesuatu yang buruk terjadi padanya? Naluri perempuanku mulai bekerja.

Hingga jam sepuluh malam aku mencoba menghubunginya kembali, aku terlonjak saat telepon diangkat.

"KAMU DI MANA? AKU MENUNGGUMU DARI JAM DELAPAN!"

Nada suaraku bergetar bercampur kemarahan. Tapi sebuah suara nyaris membuat jantungku berhenti berdetak.

"Kamu berani membentak suamimu?? Kamu mau tahu Atha ada di mana?? Di rumah tengah menikmati jamuan makan malam bersama mantan besannya!"

Klik! Telepon diputus. Aku terpana sesaat tak tahu harus berkata apa. Darahku mendidih, mataku mulai panas. Tanpa bisa dibendung, tangisku pecah. Aku merasa menjadi orang paling bodoh di dunia karena menunggu suamiku sendiri pulang padahal ia tengah bersenang-senang tanpa memberitahuku sama sekali.

Atha keterlaluan, umpatku geram. Bukankah ia berjanji akan menjauhi Shafira, perempuan yang dulu pernah dijodohkan oleh orangtuanya.

Shafira yang cantik, seksi, pintar, berada, lulusan luar negri dengan sederet prestasi itu nyaris membuatku mundur. Tapi Atha memohon dan berlutut di kakiku agar aku tidak meninggalkannya.

Apalah aku ini jika dibandingkan dengan perempuan itu? Aku hanya lahir di keluarga sederhana yang kebetulan beruntung mendapatkan banyak kebaikan Tuhan sehingga bisa mendapat beasiswa kuliah di tempat bergengsi.

Dan di sanalah aku bertemu Atha, lelaki tampan dan pintar yang membuat aku merasakan cinta untuk pertama kalinya. Lelaki yang membuat aku luluh dan berani melakukan hal-hal gila.

Tangisku terhenti ketika Aubrey tiba-tiba sudah berdiri di belakangku dengan wajah penuh kebingungan. Aku berlari memeluknya erat dan segera membawanya ke kamar.

Kuhapus segera air mataku, dadaku masih sesak dan hatiku sangat sedih. Tapi Aubrey tak boleh melihatku kacau seperti ini. Aku lalu menidurkannya kembali di kamar. Kupeluk tubuh mungilnya dan kucium keningnya berulang-ulang.

Aku pun tertidur hingga sebuah ciuman hangat membangunkan malamku yang berat. Atha.

Ia memang selalu membawa kunci serep karena terkadang pulang larut. Jadi aku tak perlu susah payah menunggunya pulang dengan mata setengah mengantuk.

Mataku berat, aku berusaha menghindar dari tatapannya sambil menyelimuti Aubrey dan bangkit.

"Maaf jika kamu menungguku lama, Sayang," suaranya terdengar hati-hati sembari menggamit lenganku penuh sayang.

Aku menunduk dan menepis tangannya perlahan lalu berjalan mendahuluinya menuju kamar.

"Sayang...."

Atha berjalan menjejeri langkahku. Ia segera memelukku dari belakang namun aku segera menjatuhkan diri di kasur dan tidur membelakangi Atha. Segera kutarik selimut dan berusaha memejamkan mata dengan sempurna.

Atha mengehela napas panjang dan duduk di sisi kasur sambil mengusap punggungku perlahan.

"Aku habis dari rumah Mama, ada jamuan makan malam," nada suaranya kembali terdengar sangat hati-hati.

Dan kamu ketemu Shafira di sana lalu bercengkrama dengan keluarga besarnya tanpa memikirkan bahwa aku menunggumu dipenuhi kecemasan dan kekhawatiran? Kamu jahat, Atha! aku mengumpat dalam hati dengan kesal.

Setitik air mata kembali jatuh di pipi. Atha kembali menghela napas panjang.

"Luna, kamu marah sama aku?"

Tidak ada suara. Hening yang cukup lama. Hanya terdengar tik tok jam dinding di kamar kami. Atha lalu bangkit dan kudengar langkahnya menjauh. Ia mungkin segera mengambil handuk dan bersiap untuk mandi.

Lamunanku tiba-tiba buyar begitu seseorang mengetuk kaca. Aku terkejut dan segera menoleh. Segera kuturunkan kaca mobil dan kulihat seorang petugas parkir berdiri di sampingku.

"Mobil Ibu mau keluar apa enggak? Soalnya dari tadi ada orang yang nungguin mau parkir," tanyanya ramah.

Aku tergagap menahan malu. Ya ampun, jadi sudah berapa lama aku melamun di parkiran hingga tak sadar ada mobil yang menungguku keluar?

"Iya, maaf ya, Pak, saya mau jalan pulang," ucapku sambil menyalakan mesin mobil dan segera pergi.

*

Papa kena stroke. Aku lagi di rumah sakit. Kamu mau kesini sama Aubrey?

Sebuah pesan masuk dari Atha membuatku termangu. Atha mengabariku, berarti dia masih menghargaiku sebagai istri.

Tapi aku malah bingung dan tak tahu harus apa. Bukan perkara mudah bertemu Mama dan Papa Atha mengingat penolakan mereka selama ini kepadaku.

Apa aku akan membiarkan mereka terus menghina dan merendahkan aku demi Atha dan Aubrey? Aku lelah.

Aku bangkit dan menuju dapur. Kuambil satu sachet kopi instan dan segera merobeknya perlahan. Sebuah gelas bening kuraih dari dalam lemari dan kumasukan serbuk kopi tadi ke dalam gelas.

Aku bukan pecinta kopi, tapi tiap kali merasa gelisah, aku butuh pelarian dan aku menemukannya dalam secangkir kopi.

Air panas dari dispenser segera memenuhi gelas. Aku mengaduknya perlahan lalu termangu di kursi bar.

Aku begitu gamang. Terkadang hatiku begitu lelah berada di samping Atha. Jika bukan karena rasa cintaku yang begitu besar, aku ingin sekali lepas dari semua penderitaan ini.

Tapi mata indah milik Atha tak mampu membuat aku lari sedetikpun darinya. Aku begitu mencintai Atha, aku begitu memuja lelaki tampan itu.

Kuraih gelas kopi di hadapanku dan aku menyesapnya perlahan.

Tiba-tiba sebuah pesan masuk di ponselku. Pasti Atha tak sabar menanyakan apakah aku bisa ke rumah sakit sekarang atau tidak.

Dengan malas kuambil ponsel yang kusimpan di saku celana.

Hei Aluna, hari ini kamu sibuk? Aku diberitahu jika anak-anak akan mengadakan pesta kostum besok. Mendadak ya? Maukah kamu membantuku mencari kostum yang pas buat anakku?

Prahara AlunaWhere stories live. Discover now