Andai Dia Tahu

32 2 0
                                    

Anakku? Wendy berarti sudah menikah dan mempunyai anak. Tapi kenapa ia malah memintaku menemaninya mencari kostum untuk anaknya? Di mana istrinya? Apa sudah berpisah? Atau istrinya sudah meninggal? Aku bertanya-tanya dalam hati seketika saat membaca pesan dari Wendy.

Lelaki itu, pacar pertamaku saat masih berseragam abu-abu. Lelaki keturunan Arab yang berhidung bangir dan berkulit sawo matang yang sudah berhasil menaklukan aku si kutu buku.

Ah Wendy, hatiku tiba-tiba gamang. Kenapa ia datang kembali di saat aku lagi bimbang? Kenapa Tuhan menakdirkan aku mengingat lagi seluruh kenangan yang sudah kukubur dalam-dalam bersama namanya?

Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Menemaninya? Atau
segera menjauh darinya? Tiba-tiba aku memukul kepalaku sendiri. God, kenapa aku harus kegeeran sendiri? Mungkin saja Wendy tidak ada niat sama sekali untuk mendekatiku. Pastinya ia tahu aku sudah memiliki anak dan suami.

Tapi menemani Wendy bukan pilihan terbaik saat ini. Meskipun aku juga tidak berselera pergi ke rumah sakit menengok Papa Atha. Aku lagi malas berpura-pura baik. Aku lagi ingin menjadi diriku sendiri.

Kuteguk tuntas kopi yang sudah dingin. Aku lalu bangkit. Aku ingin berendam di atas bathtube, aku ingin menghilangkan penat sebelum menjemput Aubrey satu jam lagi.

* * *

"Luna!"

Aku berbalik dan melempar senyum saat sosok Wendy melambaikan tangan ke arahku.

"Gimana?" tanyanya balas tersenyum.

"Maksudmu?" aku pura-pura tak mengerti.

"Pesta kostum anak-anak," Wendy nampak kecewa ketika aku terlihat tak paham dengan pertanyaannya.

"Ya ampun, maaf, Wen, aku gak bisa. Aku udah ada janji sama suamiku," aku menjawab sekenanya.

Ya Tuhan, kenapa aku harus berbohong? Aku mulai merasa bersalah.

"Kamu sudah menikah? Kupikir yang kemarin bersamamu itu adalah keponakanmu. Bodohnya aku ya," ucapnya sambil tertawa. Aku cuma meringis.

"Hmmm... apa kita bisa menunggu anak-anak keluar kelas sambil minum teh atau kopi di kafe dekat sekolah?" ucapan Wendy seperti sebuah permohonan.

"Please..." ucapnya sambil menatapku lamat-lamat.

Aku mengangguk pelan setelah melihat jam tangan hadiah ulang tahun dari Atha bulan lalu. Masih ada empat puluh menit sebelum Aubrey keluar kelas dan mencari mamanya di antara kerumunan para penjemput.

"Dari mana kamu tahu ada kafe di dekat sini?" aku mencoba mencairkan suasana ketika kami berjalan bersisian menyusuri pinggir jalan.

"Setiap hari aku menunggu anakku di sana," Wendy menjawab pelan.

"Anakmu?" tanyaku sangsi.

"Anak kamu? Tapi biasanya yang menjemput..." Aku tidak melanjutkan kalimatku begitu melihat Wendy menarik lenganku.

"Wen, kamu kenapa sih?"

Kami nyaris jatuh terjembab ke tanah. Lelaki mancung itu buru-buru berdiri dan menggenggam tanganku memastikan bahwa tak ada luka serius yang menimpaku. Dadaku tiba-tiba berdesir. Ya, Tuhan ada apa denganku?

Rupanya sebuah sepeda motor yang baru keluar dari gang menjalankan kendaraannya dengan ugal-ugalan sehingga nyaris menabrak kami.

"Kamu baik-baik aja kan?" Nada suara Wendy terdengar sangat khawatir.

Aku melepaskan genggamannya, "Aku tidak apa-apa, aku bahkan tidak tahu kalau kita sedang dalam bahaya," aku melanjutkan langkahku menghindari tatapan mata Wendy yang tak biasa.

Wendy terlihat salah tingkah. Ia segera menjejeri langkahku dan berkata, "Itu kafenya." Nada suaranya terdengar kikuk saat menunjuk bangunan yang tidak terlihat seperti kafe. Jangan-jangan Wendy cuma ingin mengerjaiku. Aku menoleh ke arah Wendy, dan seperti memahami pertanyaanku Wendy tersenyum.

"Dont judge a book by its cover, lihat dulu ke dalam dan aku jamin kamu akan ketagihan datang kemari," ia tertawa sambil menarik lenganku agar bergegas masuk ke dalam. Bagai kambing dicocok hidung aku hanya menurut saja.

* * *

Entah sudah berapa lama aku tenggelam dalam lamunan. Tentang Atha dan semua kehidupan cinta kami. Tentang keindahan-keindahan yang kerap kali kami ciptakan untuk terus menghangatkan pernikahan ini. Tapi mendengar kata restu hatiku terasa ngilu.

Ponselku kembali berdering nyaring. Kupikir Atha akan membujukku seperti biasa. Tapi panggilan itu ternyata dari Wendy. Ah lelaki itu, tidak cukupkah tempo hari kami menghabiskan waktu hingga aku nyaris melupakan Aubrey. Tidak! Lebih tepatnya melupakan Atha!

Tiba-tiba aku ingin menangis. Tuhan, aku tidak tahu apa yang sedang kurasakan saat ini. Aku sungguh bingung dan... entahlah. Aku rindu Atha. Tapi aku merasa bersalah telah mencuranginya dengan diam-diam bertemu Wendy.

Suara ponsel terus berbunyi. Aku mengambil bantal dan menjatuhkan kepalaku yang terasa pening ke kasur. Untung Aubrey masih terlelap tidur di kamarnya. Kalau tidak ia pasti akan kebingungan meliat aku kusut begini.

Atha, di mana kamu, Sayang? Kenapa telepon dan pesanku tidak kamu jawab? Atha tidak biasanya mangacuhkanku begini. Setiap jam, setiap menit, dan setiap detik, ia mengatakan bahwa bayanganku selalu mengikuti langkahnya kemanapun ia pergi.

"Berarti aku tidak bisa main mata kalo bayangan kamu ada di manapun aku pergi ya?" tanya Atha sambil bercanda suatu hari saat kami sedang berdua. Aku mendelik ke arahnya. Kesal sekaligus sebal.

"Kamu pengen main mata meski sudah punya istri cantik begini?" aku mencubit lengannya dengan keras.

Atha meringis lalu balik memelukku hingga aku tak bisa berkutik. Selalu merasa damai berada di dekatnya.

"Aku gak mungkin macam-macam sama kamu. Kalo aku mau, sudah kulakukan dari dulu," ia mengecup puncak kepalaku dengan lembut.

"Kenapa gak kamu lakukan?"

"Karena aku tergila-gila sama kamu dari pertama kali kita bertemu."

"Gombal!"

"Serius."

Atha mengeratkan pelukan membuat aku tak bisa berbuat apapun selain menikmati cinta yang terus membara di antara kami berdua. Semuanya akan terasa sempurna andai saja restu kedua orangtua Atha kudapatkan. Sayangnya aku berkali-kali harus menelan kekecewaan yang dalam tiap kali berharap.

Tak sadar ada tetesan bening mengalir di ujung mataku. Ya Tuhan, sampai kapan aku harus bersabar? Sampai kapan aku berdamai dengan sikap-sikap menyakitkan keluarga Atha terutama kedua orangtuanya? Haruskah aku menyerah?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 07, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Prahara AlunaWhere stories live. Discover now