Cover

225 15 1
                                    

Gadis itu, telah lama aku memerhatikan nya. Mata hitamnya yang indah pasti membuat siapapun yang memandang terpana. Wajahnya yang tertutup membuatku menerka-nerka keindahan di balik cadar yang selalu melingkar di kepalanya.

Humairah. Ia sering sekelas denganku. Ntah takdir atau kebetulan. Yang pasti aku senang, walau sulit untuk berada di dekatnya.

Di masa kuliah seperti ini,  masih saja banyak yang suka membully. Dan gadis itu adalah sasaran empuk pembully. Seringku bantu ia saat sedang di permainkan. Ia hanya membalas dengan senyuman yang dapat terlihat dari sudut matanya.

Dia pendiam, itulah yang membuatnya lemah karena tidak memiliki teman. Dia juga sopan dan tertutup, itulah yang membuatnya mudah di tindas karena dikira sok jual mahal. Ia juga pintar, itulah yang membuat orang-orang iri dan dendam.

Aku bingung dengan sikapnya yang penyabar. Padahal ia bisa saja membalas mereka dengan melaporkannya.

Kini, ia sedang di bully.  Cacian dan makian selalu menjadi senjata bagi 3 gadis itu untuk menyerang Humairah. Mengingat Humairah memakai hijab, mereka tidak bisa menarik rambutnya. Mereka memilih menampar dan menarik cadarnya secara paksa. Kali ini, aku terdiam. Aku tidak menolong seperti biasanya. Ntah setan apa yang merasukiku, aku hanya ingin melihat wajahnya.

"Buka Bodoh!" kata salah seorang dari 3 gadis yang mengerjai Humairah.

Sudut mata Humairah mengeluarkan bulir-bulir bening. Tidak biasanya ia menangis dan melawan. Mungkin, ia memang tidak ingin memperlihatkan mukanya.

Kasihan. Satu kata itu terlintas bertubi-tubi di pikiranku ketika melihat Humairah yang masih pada pendiriannya.

Kenapa tidak dia biarkan di buka saja?

"Hei! Berhenti!" ucap seseorang, yang pastinya bukan aku.

"Kita sudah dewasa, bersikaplah dengab sopan." sambungnya dengan muka dingin, sambil berkacak pinggang. Ia berjalan menuju Humairah yang masih menangis sesegukan.

Ketiga gadis yang mengganggu nya menghindar. Ketakutan.

"Kamu tidak apa-apa?" Humairah menggeleng, sambil membenarkan jilbab dan cadarnya. Oh, pria itu, aku mengenalnya. Rafael, Anak dari pemilik Universitas Harapan. Kalau dibandingkan dengan ku yang tidak terkenal ini, memang tidak ada apa-apanya. Yah setidaknya, aku masih terbilang tampan,eh!?

Aku mendekati mereka, dan mengulurkan sapu tanganku kepada Humairah. Ia menepisnya sembari menggeleng. Tiada percakapan di antara kami berdua. Rafael pun hanya diam dan berbalik meninggalkan kelas. Sedangkan Humairah juga meninggalkanku yang masih terpaku. Mungkin dia mau ke kamar mandi.

Jam tangan ku menunjukkan angka 3. Ntah ada angin apa, aku menunggu Humairah di gerbang.

Dasar nekat!

Aku terus merutuki kebodohanku. Hingga aku melihat siluet seseorang yang aku kenal.

"Humairah." Ucap ku sambil melambaikan tangan.

Ia tersenyum dan menghampiriku.

"Kamu pulang sama siapa?" tanyaku.
Translate: pulang sama aku yuk!

"Ayah jemput." singkatnya. Ia tersentak. Seakan mengingat sesuatu. Seketika senyumnya hilang dan ia memalingkan wajahnya dariku.

"Ada yang salah?" tanyaku. Ia menggeleng dan berjalan melewatiku.

Sakit, penasaran, dan bingung. Perasaanku campur aduk. Padahal, aku masih ingin menanyakan keadaannya tentang kejadian tadi.

Aku tersenyum simpul mengingat bahwa tadi adalah percakapan kami yang pertama, setelah sekian lama aku menolong dan memerhatikan nya. Biasanya, ia hanya membalas pertanyaan ku dengan anggukan, gelengan, atau senyuman. Ah, senangnya.

DIAWhere stories live. Discover now