Min Haitsu La Yahtasib ( Rejeki yang tiada disangka-sangka)

2.7K 12 0
                                    

Entah percaya atau tidak percaya. Terkadang gue bingung dengan kondisi ekonomi orang tua santri di Pondok Pesantren ini. Mayoritas orang tua santri disini berprofesi sebagai buruh tani. Tapi yang gue heran. Kok bisa ya, anaknya sekolah dan mondok disini. Padahal dari segi biaya harus membutuhkan uang yang lumayan banyak. Kalau gue pikir secara logika, penghasilan buruh tani itu tidak seberapa. Mungkin ini yang dimaksud dengan "Min Haitsu La Yahtasib". Kalau kata Kiai Fadhol "Allah SWT memberikan rejeki kepada hambanya dari arah yang tiada disangka-sangka".

Pernah gue datengin seorang santri yang berasal dari pelosok desa yang paling pelosok, kebayangkan betapa sedihnya?. Namanya Muhammad Husain, dia terkenal dengan julukanya "Mat Kusen". Sudah satu tahun dia tinggal di Pondok Pesantren Al Ishlah ini. Saat gue tanya, "berapa uang sakumu setiap bulan?", dia bilang tidak pernah mendapatkan uang saku dari orang tuanya. Ternyata santri gue yang satu ini mendapatkan biaya sekolah dan mondok dari iuran warga kampung yang ada di desa tersebut. Gue yakin santri ini terlahir dari orang yang tidak mampu. Yang gue salut dari Mat Kusen ini, selain dia pintar mengaji nahwu dan sorof, dia juga jago ilmu beladiri. Kemarin dia pernah ikut lomba bela diri tingkat Provinsi Jawa Tengah. Alhamdulillah dia mendapatkan juara yang ke dua.

Sebenarnya dari dulu gue itu pingin sekali keluar dari Pondok Pesantren ini. Melihat teman-teman gue yang udah sukses menjadi pengusaha. Gue iri pingin bisa seperti mereka. Disisi lain gue merasa kasihan dengan santri gue disini. Kalau gue tinggal nanti yang gantiin gue ngajar siapa?. Jujur saja ya sob, gaji gue mengajar di Pondok Pesantren sangatlah kecil. Tapi anehnya ketika saya butuh sesuatu pasti bisa membelinya. Contoh kecil saja, kemarin HP gue hilang pas ada acara reunian. Ternyata saat gue pulang ke pondok ada salah satu wali santri yang memberikan HP kepada gue.

Tak tanggung-tanggung sob, Mereknya Apel krowak. Usut punya usut ternyata HP itu adalah HP anaknya. Orang tua tersebut tidak ingin anaknya membawa HP di Pondok, jadi agar lebih aman HP itu dikasihkan kepada gue. Yah, walaupun cuma dipinjemi tapi lumayan bisa buat facebookan.

Santri di Pondok Pesantren ini memiliki latar belakang ekonomi yang berbeda-beda. Ada yang anaknya orang kaya dan ada pula anaknya orang miskin yang seperti gue ceritakan tadi diatas. Semua gue jalanin dengan ikhlas dan penuh dengan pengabdian. Gue sendiri sebenarnya terlahir dari anak orang yang mampu. Nyokap dan Bokap gue punya usaha budidaya peternakan ayam kampung. Omsetnya saja dalam waktu satu bulan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Terkadang gue heran, mengapa Nyokap dan Bokab gue lebih suka memilih gue menjadi seorang guru. Padahal sebenarnya gue itu pinginya jadi pengusaha. Apapun itu perintah orang tua adalah wejangan terbaik bagi diri gue sendiri.

Bulan ini kang sulaiman akan cuti. Dia adalah koki paling senior di Pondok ini. Saat itu dia nyamperin gue di Kantin Pondok.

"An, gue besok mau cuti?"

"Tumben, emang ada acara apa." Ucap gue sambil mengiris bawang.

"Ayah gue masuk Rumah Sakit." Terlihat wajah kang sule mulai murung.

"Innalillahi. Sejak kapan, kang?"

"Sudah lama sakitnya."

"Semoga cepet sembuh ayahmu."

"Selama gue pulang, besok dan seterusnya kamu ya, yang masak."

"What!" Sahut gue sedikit terkejut

"Santai aja, gue punya kok buku resep masaknya."

"Tapi....!".

Baru kali ini gue ditawarin menjadi koki. Padahal selama ini gue paling gak suka masak. Dulu waktu gue masih menjadi santri bisanya hanya menghabisin makanan saja. Tapi sekarang malah disuruh menjadi juru masak. Tapi tidak apa-apalah yang penting gue ikhlas nanti bisa dapat pahala. Terlihat semua bahan makanan sudah tersedia diatas meja. Pertama-tama gue masak nasi terlebih dahulu. Setelah itu gue langsung memasak sayur asem khas demak. Gue baru tahu kalau selama ini sayur asem memakai bahan daging kerbau, Tapi disini sayur asemnya memakai daging ayam. Maklum aja sob, sekarang daging kerbau harganya lumayan mahal. Walau cuma daging ayam yang penting anak-anak bisa makan.

Bukan Santri BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang