35b

42.6K 3.7K 134
                                    

Aira duduk nyaman menikmati keindahan di sekelilingnya. Bibirnya tak henti mengumbar senyum, terutama saat memperhatikan kumpulan burung beraneka warna seperti sedang bercengkerama dengan kelompoknya.

"Hai, Nona Pemalas!" seru Dariel sambil meletakkan beberapa buah-buahan segar di atas rumput samping Aira. "Enak sekali kau hanya bersantai di sini sementara aku mencari makanan untuk kita." Gerutu Dariel dengan nada merajuk.

Aira terkekeh. Ia sungguh terpesona memperhatikan berbagai buah yang dikumpulkan Dariel. Warna dan bentuknya sangat cantik hingga membuat Aira tidak tega memakannya. Tapi jangan tanya cantik seperti apa karena semua keindahan di sekelilingnya tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

"Jangan mengeluh. Pekerjaan suami memang seperti itu. Bekerja keras."

"Lalu apa pekerjaanmu, istriku?" Dariel duduk di samping Aira dengan tatapan menantang. Senyum geli tersungging di bibirnya.

Ya, di tempat itu mereka adalah sepasang suami istri.

"Pekerjaanku adalah mengurusmu, suamiku." Aira mengedipkan sebelah mata seraya berdiri.

"Kedengarannya menyenangkan." Dariel terkekeh.

Aira berjalan pelan menuju sungai jernih yang hanya berjarak sekitar dua meter dari tempatnya duduk. Dia membungkuk lalu menciduk air dengan menggunakan kedua tangannya. Hati-hati ia kembali ke tempat Dariel agar tidak menumpahkan air di tangannya.

"Kenapa kau tidak menggunakan daun?" tanya Dariel. Di tempat itu semuanya masih alami. Tidak ada benda-benda yang biasa digunakan manusia zaman sekarang sehari-hari. Tapi entah baju yang mereka kenakan berasal dari mana.

"Aku suka melihatmu minum dari tanganku." Ujar Aira pelan sambil berlutut di samping Dariel.

Dariel tersenyum seraya membuka mulut dan membiarkan Aira menuangkan air di tangannya ke dalam mulut Dariel.

"Lezat, seperti dirimu." Gumam Dariel sambil menarik tangan Aira hingga wanita itu terduduk di pangkuannya.

"Memangnya aku makanan?"

"Kau lebih lezat dari makanan."

Aira terkekeh. Kemudian dia mengupas buah yang bentuknya seperti anggur, tapi rasa dan warna daging buahnya lebih menyerupai apel.

"Buka mulutmu!" perintah Aira.

Tanpa ragu Dariel kembali membuka mulut dan membiarkan Aira menyuapinya. Tapi kali ini giginya mengatup di antara jari telunjuk Aira.

"Sayang, lepaskan!"

Bukannya melepaskan, Dariel malah mencengkeram pergelangan tangan Aira yang telunjuknya masih berada dalam mulut Dariel.

"Cium dulu baru kulepaskan." Pinta Dariel dengan nada manja.

"Emm...." Aira tampak berpikir tapi lalu dia tersenyum. "Baiklah."

Dariel tampak kegirangan seperti baru saja menang undian. Sementara itu Aira mulai mendekatkan wajah dengan kilat geli di matanya. Dia sungguh gemas melihat Dariel memasang tampang kekanakannya.

Kurang dari dua detik lagi bibir mereka akan bersentuhan. Tapi tiba-tiba suara gemuruh terdengar dari langit diiringi kilat halilintar. Keduanya mendongak penasaran namun tidak terlihat ketakutan. Padahal langit yang semula biru cerah kini berubah sangat putih dengan bagian tengah terkuak, seperti akan pecah. Dari bagian tengah langit yang seperti memisah itu, terlihat asap hitam bercampur merah. Seperti api neraka yang siap menjilat apapun di bawahnya.

"Sudah waktunya kita kembali, Dariel." Aira berkata dengan pandangan masih mengarah pada langit.

"Tidak mau." Dariel berkata seperti anak kecil yang bandel. Dia bahkan memeluk pinggang Aira erat sebagai isyarat dia tidak mengizinkan wanita itu pergi kemanapun.

In His Arm (TAMAT)Where stories live. Discover now