SC 5 🏢

12.6K 550 29
                                    

Kami sampai di apartemen sekitar jam sepuluh Waktu Indonesia Tengah. Kurebahkan tubuhku di tempat tidur dengan nyaman, menarik napas kuat lalu menutup kedua kelopaknya dalam. Sementara di luar ketiga lelaki itu hanya ngobrol di ruang TV. Aku sebenarnya kasihan pada Dokter Hans, karena kamar di apartemen ini hanya dua dan ukurannya kecil, alhasil beliau tidur di kasur tipis -persis yang ada di rumahku yang biasa kami gunakan ketika nonton TV bersama. Hanya saja ini warnanya hitam kalau di rumahku biru tua -karena kalah dengan kedua temannya yang sudah jadi bapak-bapak itu. Diam-diam kedua ujung bibirku melengkung ke atas, tersenyum mendengar suara Dokter Gabriel dan Dokter Fajar yang sejak tadi menggodanya. Yah, kedua lelaki yang sudah berkepala tiga itu menggoda Dokter Hans karena belum juga kunjung memiliki pasangan. Apa itu benar? Agaknya aku kurang percaya. Masa iya lelaki sekeren, seganteng dan sesukses Dokter Hans tidak ada yang mau?

Bukahkah ini aneh, Ham? Di saat lelaki seusia Dokter Hans -dan segala kesempurnaan yang dia miliki -berusaha menemukan wanita yang akan menjadi pendampingnya, di sisi lain kau sedang dihadapkan dengan dua pilihan gadis -bersaudara -dan melukai seorang di antara gadis itu.

Apa kelebihmu dibandingkan dengannya? Aku juga tak bisa menjawabnya, karena secara kasat mata kau kalah jauh darinya. Dokter Hans memiliki wajah Indo yang tampan, bibir merah alami serta mata yang indah, karirnya juga jauh lebih sukses dibandingkan kau yang hanya mengelola toko sembako warisan orangtuamu. -Yah, walau toko itu adalah yang terbesar di kampung tapi kalau disandingkan dengannya, kekayaan kalian sangat besar perbedaannya. -Namun tak tahu mengapa begitu banyak hati yang terluka karena dirimu, Ham? Mengapa aku dan Zahra bisa jatuh cinta kepada dirimu? Terutama aku, mengapa aku bisa tetap mencintaimu hingga saat ini?

Ham, sejak dulu aku tak melihat lelaki berdasarkan rupa dan kekayaan, dan harusnya kau paham itu. Sebab cinta hanya memandang hati, bukan?

"Malam ini kita mau makan apa? Aku lapar sekali nih." Dokter Gabriel memegangi perutnya ketika aku bergabung untuk nonton bola bersama. Mumpung seru, MU yang notabene tim kesukaanku main. Ternyata Dokter Fajar juga suka MU makanya kami ngobrolnya nyambung.

"Ini sudah malam, El. Gak baik makan malam-malam." Dokter Hans yang mengantuk dan tiduran menjawabnya.

"Tapi ini sampai bunyi lho, Hans!" katanya mengusap perut seperti orang hamil. "Memang lo gak kasihan sama gue?"

"Pesan pizza saja," usul Dokter Fajar bersemangat.

"Enggak baik makan makanan junk food, Jar." Yang bersangkutan menolak. "Gue ingin makan makanan rumahan."

"Tadi gue lihat di dapur ada bahan-bahan masakan deh." Kalau sudah menyangkut obrolan begini lebih baik aku jujur sebelum disuruh memasak. Takutnya kalau aku nekat masak kasihan mereka karena diare makan masakanku.

"Tapi saya gak bisa masak lho ya."

"Cewek gak bisa masak?" Dokter Fajar kaget.

"Ya elah, Jar! Banyak kali zaman sekarang wanita gak bisa masak." Dokter Gabriel melemparkan kulit kacang pada lelaki yang merajai camilan di toples kaca itu. "Kris saja waktu baru nikah sama aku juga gak bisa masak kok."

"Terus bagaimana?" tanyaku.

"Tenang saja, Dokter May! Meski Anda tidak bisa masak kita tetap bisa makan kok." Wajah Dokter Fajar tidak sedang bercanda. "Bukan begitu, Bro?"

"Yap," sambung Dokter Gabriel yakin.

"Memang di sini ada yang bisa masak?"

Kedua lelaki itu bertatapan sejenak kemudian beralih ke arah Dokter Hans bersamaan, sambil tertawa lebar. Sementara Dokter Hans membalasnya jijik.

"Kenapa aku?" katanya bertanya bingung dan tidak mau dilibatkan.

"Hans, kamu tidak usah berlagak begitu lah. Kita kan sudah berteman sejak dulu banget, jadi kami belum lupa kalau kamu jago masak." Dokter Gabriel memasang wajah melas untuk membujuknya. "Masa kamu tidak kasihan kepada kami?"

SYAHADAT CINTA (Completed) #SUDAH DITERBITKANWhere stories live. Discover now