Zes

1.2K 139 13
                                    

We were together but now we’re not walking together
Loneliness and misery, the difference is only one memory
But why do you keep trying to write it as something else?
Baby I feel like I’m alone...

*

Sayang tidak banyak bicara sejak interogasi di kantor kepolisian Gangnam selesai. Ia tampak melamun sambil menggenggam surat terakhir yang ditemukan di samping jenazah Jinhoo. Surat tersebut ditujukan kepada Sayang. Bahkan sekarang pun Sayang belum berani membukanya. Ia masih berkubang dalam duka karena kepergian Jinhoo yang tiba-tiba apalagi kepergiannya bukan lah sesuatu yang normal. Walaupun bunuh diri di Korea sudah dianggap sebagai hal yang lumrah.

"Mbak! Kita sudah sampai." panggil Martin memberitahu Sayang bahwa mereka sudah sampai di hotel.

"Mbak... Mbak... Mbak..." karena tidak digubris akhirnya Martin mengguncang tubuh Sayang.

Sayang tergagap melihat suasana yang sudah berubah dari kantor polisi di distrik Gangnam menjadi lobby hotel.

"Saya panggil berkali-kali Mbak tapi gak nyaut sih. Maaf ya saya lancang pegang-pegang." Kata Martin dengan nada khawatir.

"Iman mana...?" Tanya Sayang menyadari Iman sudah tidak ada di sampingnya. Ia pasti melewatkan banyak hal  dari tadi hingga tidak menyadari suaminya itu turun dari mobil yang mereka tumpangi saat ini.

"Tadi minta berhenti di minimarket di ujung jalan sana mbak. Ada yang mau mas Iman beli. Mbak-nya disuruh langsung ke kamar dan istirahat. Besok kita harus ke funeral hall karena Mbak Ayang diminta Jinhoo secara tertulis dalam wasiatnya agar menemani ibunya hingga ia dikremasi." Jelas Martin lalu menyerahkan paper bag berisi baju hanbok berwarna hitam yang akan dikenakan Sayang besok.

"Jangan lupa besok mbak Ayang gak boleh pakai make-up atau risana kepala ya mbak. Rambut mbak Ayang dicepol aja." Kata Martin memberitahu namun Sayang tampaknya tidak bereaksi.

Sayang terdiam sejenak. Lalu mencubit kulit lengannya dengan sengaja. Ada sensasi sakit hingga membuatnya sadar bahwa ini bukan mimpi belaka. Ia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi dengan Jinhoo saat ini.

"Boleh aku minta kamar pisah dari Iman gak?" Tanya Sayang saat akan keluar dari mobil.

"Saya telpon mas Iman dulu ya mbak." kata Martin mengeluarkan ponselnya.

"Jangan...!!! I just wanna be alone." larang Sayang.

"Tapi bahaya ninggalin mbak Ayang sendirian di situasi seperti ini. Masalah sama debt-collector nya kan juga belum kelar mbak. Belum lagi kasus ini jadi sorotan media karena Jinhoo adalah dokter bedah plastik yang masuk Top 5 di sini."

Sayang sedang tidak ingin mendebat apapun saat ini. Ia terlalu lelah.

"Terserah deh Tin..."
Sayang akhirnya berusaha menyeret dirinya keluar dari mobil dan berjalan lunglai.

*

Pertanyaan-pertanyaan polisi saat proses penyelidikan tadi menghantui Sayang. Belum lagi bayang-bayang Jinhoo yang terus terlintas di kepalanya setelah penyelidikan tadi. Hal membuat ia frustasi.

Sayang sedari tadi hanya duduk melipat kaki ke dadanya di samping tempat tidur. Ia tampak ketakutan dan terus merasa bersalah.
Apalagi saat ini ia sendirian di kamar yang sangat besar membuat Sayang merasa kecil.

Rasa bersalah bermunculan saat ia flashback di detik-detik ia meninggalkan Korea tanpa memberitahu Jinhoo, lalu tiba-tiba menikah dengan Iman dan juga bertindak tanpa kompromi dengan Jinhoo membuat Sayang menyesal. Untuk apa pernikahannya saat ini jika ia malah membuat Jinhoo malah bunuh diri.

Rasa Sayang Where stories live. Discover now