First A Life With Him.

2.3K 196 24
                                    

Begitu ku buka pintu rumah itu, sekilas begitu sangat sepi, sangat sunyi tidak seperti waktu itu.

Waktu itu ... setelah seminggu ku tinggal dirumah ini, ada kebahagiaan tersendiri yang mulai ku rasakan karena beberapa perhatiannya padaku.

Ah, sudah. Lebih baik ku ceritakan saja sejak awal saja.

Hari itu ....

*Tok ... Tok ... Tok ...*

Sudah tiga kali ku ketuk rumah ini, dan ibunya membukakan pintu untukku.

"Oh, Yo." Seru ibunya itu.

"Swadii Krub, bibi." Seruku menyapanya.

"Kau sudah datang,nak" Imbuhnya.

"Iya, bibi."

"Kau datang bersama siapa? Apa dengan ibumu?"

"Tidak, bibi. Aku diantar oleh teman-temanku, katanya ibu ada beberapa urusan dirumah." Ujarku.

"Oh. Begitu. Ayo masuk." Ucapnya.

"Iya, bibi."

Aku menurut saja, dan masuk kedalam rumahnya sambil membawa sebuah koperku.

"Mari kita masuk, nak."

Ia mempersilahkanku yang sudah didalamnya untuk dihantar ke ruang tengah. Rumahnya nampak elegan, klasih, dan cukup nyaman dengan dekorasi yang pasti pilihan ibunya.

"Duduklah. Apa kau sudah sarapan?" Tanyanya begitu sampai disamping meja.

"Belum, bibi." Jawaban yang sepintas terceplos di bibirku.

"Ah, baiklah. Bibi akan membuatkan sarapan sebentar. Dan bibi akan panggilkan Phana untuk menemanimu." Ujarnya

"Baik, bibi." Jawabku.

Wanita paruh baya itu pun bergegas pergi meninggalkanku sendiri. Tak lama aku pun berdiri memandangi beberapa pajangan yang ada disana, dan sempat memandangi beberapa figura yang terpajang diatas laci-laci yang merapat di dinding.

Foto waktu ia masih menjadi bayi, kanak-kanak, semuanya hampir memenuhi laci tersebut, ada foto neneknya pula.

Dan tak lama pria itu menemuiku dengan badan telanjangnya yang hanya mengenakan handuk saja sembari seluruh tubuhnya basah akan air.

"Hm. Ada apa?" Tanyanya yang sedikit mengejutkanku.

Siapa yang tak menyangka jika ia akan menemuiku dengan keadaan seperti ini?

Bertelanjang, dengan tubuh putihnya, tato di lengannya dan juga di bagian dada kirinya yang ganas dan panas itu.

"Oh, aku tidak memanggilmu." Jawabku kemudian.

"Mamaku bilang bahwa kau memanggilku. Kau menggangguku mandi saja." Ia mulai terlihat sebal.

"Tapi aku tidak memanggilmu." Jawabku yang biasa saja.

"Huufffttt ..." Ia menghela nafas.
"Baiklah, aku akan kembali ke tempatku." Ujarnya.

"Ok." Jawabku.

Lantas ia pergi kembali menuju kamarnya dan aku kembali melihat-lihat lagi.

Ketika sarapan tiba, kami bertiga dikumpulkan di ruang makan untuk menyantap masakan ibunya itu yang cocok ditenggorokanku. Tapi yang membuatku sepat adalah wajahnya itu. Wajah asam yang ku lihat seperti itu, selalu menunduk tidak menatapku.

"Bagaimana dengan sekolahmu, Yo?" Tanyanya si ibu.

"Oh, sekolahku baik-baik saja, bu." Jawabku.

Stay With Me, P'Pha. [Friday Night]Where stories live. Discover now