Chapter 0

6.8K 595 65
                                    

"Hanya karena ia mencoba menyembuhkan dirinya dengan cara yang berbeda darimu, bukan berarti ia tidak terluka sedalam kamu."

Senja kali ini sempurna bagi seorang Ong Seongwoo. Semilir angin berhembus lembut menyapa surai hitamnya. Tak lupa riuh suara kicauan burung gereja menyapa lembut telinganya. Seongwoo masih setia memejamkan kedua maniknya dan berusaha menikmati suasana hatinya yang sedang baik. Seongwoo tersenyum hangat. Ia merindukan suasana ini. Ia merindukan tempat ini.

"Seongwoo-yaa.."

Seongwoo membuka matanya dan langsung mencari darimana sumber suara itu berasal. Ia tersenyum saat menemukan apa yang ia cari. Ia melihat sosok yang sangat ia rindukan. Sosok itu berjalan tertatih kearah Seongwoo. Dengan bergegas Seongwoo menghampiri sosok tersebut dan langsung menghambur ke dalam dekapan hangat sosok yang sudah ia rindukan selama 3 tahun ini.

"Eomma.. aku merindukanmu"

Wanita paruh baya tersebut tersenyum masih dengan posisi memeluk erat putra kesayangannya. Tanpa ia sadari matanya basah. Ia bahagia tapi hatinya perih. Entah. Hanya ia yang tahu apa sebenarnya yang terjadi. Hingga hati dan pikirannya menolak untuk sejalan. Dadanya terasa sesak dan sedikit bergetar.

Seongwoo merasakannya dan melepas pelukan itu. Ia lalu meraih lengan sang ibu untuk ia tuntun.

"Maafkan aku eomma, aku hanya terlalu merindukanmu."

Seongwoo kemudian membawa sosok yang tidak lain adalah ibunya itu ke tengah halaman dengan rumput hijau yang terhampar luas. Dibawah pohon kerai payung, seongwoo duduk bersama wanita yang sudah 3 tahun terakhir ini tidak ia temui. Di sanalah di salah satu bangku tua favoritenya, jemari mereka bertautan. Erat. Namun hening. Mereka saling merindukan. Dalam diam. Tidak ada satupun dari mereka yang ingin memulai. Bahkan tatapan mereka tidak bertemu. Mereka hanya menatap nanar kedepan. Tidak ada. Tidak ada danau hijau indah dengan air yang tenang seperti dicerita cerita romansa. Tidak ada pepohonan rindang yang asri yang dapat menyejukkan hati. Tidak ada taman dengan bunga warna warni yang dapat memanjakan mata. Tidak ada. Itu hanya fatamorgana cerita.

Seongwoo membenci situasi ini. Apakah karena tidak bertemu selama 3 tahun sang ibu berubah? Bukankah lucu jika seorang ibu membenci anaknya sendiri hanya karena tidak pernah di temui? Seongwoo menertawakan pikirannya sendiri.

Seongwoo masih setia dengan tatapan kosongnya ke arah ilalang yang terlihat menguning jingga dari tempatnya duduk. Mungkin karena senja.

"Eomma, apa kau baik baik saja?"

Seongwoo membuka suara. Mencoba mencairkan suasana yang dingin sedingin es dikutub utara. Namun hening. Tidak ada jawaban. Seongwoo semakin mengeratkan tautannya pada jemari sang ibu. Ia mengangkat genggaman tersebut sembari mengusap lembut perlahan. Dadanya sesak. Sejak kapan tangan yang biasa mengusap surai hitamnya lembut menjadi sekasar ini? Sejak kapan tangan kuat yang dulu biasa memukulinya saat ia berbohong hanya demi sepotong pie kacang favoritenya bisa sekurus ini? Sejak kapan tangan yang dulu kokoh bahkan bisa digunakan untuk membanting tubuh kurusnya bisa bergetar seperti ini? Sejak kapan semuanya berubah? Dadanya sesak. Tenggorokannya tercekat. Ia mulai merasakan matanya memanas.

"Aku baik baik saja eomma.."

Dadanya kebas. Matanya panas dan ia tahu sekumpulan air bening diujung matanya sudah hampir tumpah. Airmatanya ia biarkan mengalir membasahi wajah tirusnya. Suasana masih hening. Bahkan seongwoo dapat mendengar suara deru nafasnya yang tersengal. Ia tidak mendapatkan jawaban atas kalimat ironi yang sudah ia lontarkan. Dadanya makin terasa sesak saat ia merasakan genggaman tangan mereka melonggar dan terlepas.

"Eomma.. apa kau tahu? ... Aku sangat menyukai senja."

Seongwoo bernarasi sendiri.

"Senja itu kehadirannya hanya sesaat. Bahkan kadang aku melewatkannya. Bagiku senja itu definisi keikhlasan hati. Ia bahkan tak pernah menyalahkan awan kelabu yang kadang sering menutupi keindahan dirinya. Ia rela menjauh, menghilang untuk digantikan oleh malam. Tapi meskipun ia pergi, ia selalu kembali.."

"Aku ingin seperti senja, eomma.. Aku ingin selapang senja yang bisa menampung cahaya dan gelap secara bersamaan. Aku ingin setegar senja, yang tetap kembali walaupun ia selalu diminta pergi. Aku ingin sepe-"

"Tapi kau bukan senja, seongwoo-yaa"

Narasi panjang seongwoo tergantikan dengan suara yang sangat ia rindukan. Suara yang selalu memberikan ketenangan tersendiri bagi seorang Ong Seongwoo.

"Kau bukan senja, seongwoo-yaa. Berhenti berbicara seperti itu. Eomma benci melihatmu bersikap seperti ini."

Sang ibu beranjak dari kursi tua itu berjalan tertatih meninggalkan seongwoo tanpa permisi menuju ilalang yang sudah berubah warna.

"Eomma.. Apa kau tidak akan memaafkanku?"

"Eomma.. Berhenti.."

"Ku mohon.."

Sosok sang ibu semakin menjauh dari pandangannya. Seongwoo berdiri dan melajukan langkahnya mencoba untuk menggapai sang ibu. Tapi nihil. Sosok itu semakin menjauh. Meninggalkan dirinya yang terduduk, terjatuh akibat kebodohannya sendiri. Kakinya terluka.

"Bodoh!" Seongwoo merutuki dirinya sendiri.

Ia masih duduk dengan memegang kedua lututnya yang terluka, menelungkupkan kepalanya dengan tumpuan kedua tangannya. Ia biarkan airmatanya jatuh membasahi lukanya yang terbuka sempurna.

"Tak bisakah kau kembali, eomma.. Biarpun hanya sekedar untuk membantuku berdiri?"

"Apakah sesulit itu untuk membuatmu berbalik dan tidak meninggalkanku, eomma?"

"Aku berjanji tidak akan membahas senja lagi, eomma.. Aku berjanji aku akan menjadi seongwoomu yang dulu. Jadi jangan tinggalkan aku seperti ini, eomma.. Aku mohon.."

Seongwoo menatap miris lukanya. Perih. Tapi jika dibandingkan hatinya saat ini, lukanya itu tidak ada apa apanya. Hari ini ditengah hamparan rumput hijau luas dan dihadapan ilalang yang menguning jingga karena langit senja, Seongwoo kembali ditinggalkan.
.
.
.
.
Seongwoo merasakan tetesan air jatuh. Bukan. Bukan airmatanya. Hey, apa kau bercanda hanya menyebut airmata seongwoo itu tetesan? Itu bukan kata yang tepat. Tetesan air dari -entah- mungkin langit membasahi tubuhnya yang kaku. Miris. Bahkan langit turut berduka atas apa yang Seongwoo rasakan saat ini. Tetesan ini semakin banyak dan membasahi matanya...








Yang memang sudah sering basah..
.
.
.
.
Seongwoo mengerjapkan matanya berkali kali berusaha membiasakan wajahnya dengan tetesan air hujan yang ia rasakan saat ini. Ia tersadar ia masih disini. Ditempat favoritenya. Tempat yang bisa membuat ia tenang. Tempat yang membuat ia dapat melupakan semua kesulitannya. Tempat dengan ribuan kenangan. Seongwoo masih disini. Ditempat seongwoo meninggalkan semua harapannya. Ditempat seongwoo menanggalkan semua kebahagiaannya.

Seongwoo tersenyum miris. Dengan kedua maniknya yang masih setia menatap lurus ke arah ilalang.

"Eomma.. Kau hadir dimimpiku lagi"

Seongwoo kembali tertawa. Sarkas.

"Bahkan di mimpipun kau tidak memaafkanku, eomma.."

Senja yang selalu ia anggap sempurna bahkan juga turut meninggalkannya. Seongwoo rindu. Ia merindukan semua kenangannya disini. Ia rindu dekapan hangat ibunya. Ia rindu orang yang membencinya. Ia rindu.. semua hal sederhana yang pernah ada. Seongwoo rindu rasanya dirindukan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Hyung.. Ayo pergi"

Kedua lengan seorang lelaki yang sedikit lebih muda darinya terkalung sempurna di lehernya. Dengan posisi dagu yang ia topangkan diatas kepala seongwoo. Ah suara ini. Hatinya seketika menghangat. Seongwoo hafal suara ini. Bagaimana tidak? Suara inilah yang mengisi hari harinya selama 6 tahun terakhir. Suara yang selalu menjadi penguatnya. Suara yang selalu membuatnya tenang. Suara yang selalu menghangatkan jiwanya yang dingin. Suara yang selalu seongwoo rindukan sekaligus seongwoo syukuri karena sudah hadir di hidupnya yang abu abu.

Seongwoo menggenggam jemari itu, jemari favoritenya. Jemari dengan cincin titanium yang melingkar sempurna di jari manisnya. Seongwoo suka. Ia mengecup perlahan jemari itu lalu ia memutar tubuhnya hingga berhadapan langsung dengan sosok itu, ia melihat tepat pada kedua manik sosok pemilik jemari itu. Indah. Ia suka mata itu. Seongwoo tersenyum dan mengusap surai lelaki itu lembut.

"Apa kau sudah selesai..



























Jihoon-ie?"

Tbc

[END] Fané | OngNielWhere stories live. Discover now