Bab 1

42 7 1
                                    

Orang-orang di luar menatap hening ke arah satu pintu ruangan yang sudah sejam lebih menutup. Suasana yang mereka tangkap dari suara-suara keras yang terdengar dari dalam hanya satu, pastilah terjadi peperangan di sana. Peperangan yang kesekian kalinya dalam sebulan belakangan. Mayoritas suara itu adalah teriakan dan bentakan yang berasal dari satu orang.

"ADDUHH," jerit Alexa sambil menarik tangannya yang keburu terkena map yang dilempar secara brutal ke atas meja. Tidak sakit tapi kaget.

"BACA!" Mata Boss seperti siap menyemburkan sebuah sinar yang bisa menghancurkan Alexa jadi abu jika perintah singkat itu tidak terlaksana.

Alexa bersungut-sungut meraih map tunggal di atas meja lalu membukanya malas-malasan.

"Cepetan, Alexa," ucap Boss, kali ini dengan nada suara yang lemah. Ia berusaha mengatur emosinya agar kembali stabil. Dan kelihatannya cukup sulit karena rahangnya mengeras ketika melakukan itu.

Alexa beredehem sekali lalu memfokuskan matanya membaca isi berkas dalam map. "Informasi klien Reanita Atmaja, umur 19 tahun, anak kedua dari tiga bersaudara, penyuka film, pembenci kucing, berasal dari keluarga broken home, masalah utama adalah tiga kali gagal dalam ujian bahasa inggris." Dengan kening berkerut, ia mendongak menatap Boss. Udah.

"Di situ tertulis dengan jelas kalau dia gagal dalam ujian bahasa inggris, dan lu ngelakuin apa untuknya selama seminggu ini?" tanya Boss sambil bersedekap dada, menantang Alexa untuk mengemukakan seluruh kata-katanya untuk berdebat.

"Gue mengajaknya nonton film karena dia suka film. Lu bilang kita harus membantu klien dengan pendekatan-pendekatan yang mereka suka. Makanya gue mengajaknya nonton, Boss."

"Film apa?"

Alexa memutar matanya. "Film barat?" jawabnya ragu. Ia lupa.

Boss berdesis lalu berkata dengan penekanan lebih, "fi-lem a-pa?"

"Film barat, Boss," jawab Alexa, dibuat-buat tegas. "Masalahnya kan karena gagal dalam ujian bahasa inggris, kebetulan tuh, sambil nonton, dia juga bisa belajar bahasa inggris."

Boss manggut-manggut sambil menunduk sejenak lalu beberapa detik selanjutnya ia menatap Alexa dengan tatapan kecewa. "Mau bego-begoin gue? orang nonton film barat, fokusnya ke terjemahannya. Gue yakin dia nggak tertarik mendalami bahasa asing itu dari dialog tokoh-tokohnya karena matanya sibuk membaca setiap kata yang diterjemahin. Siapa yang mau buang-buang waktu belajar bahasa inggris di bioskop? Ya kalaupun ada, mereka pasti punya dana lebih untuk beli tiket nonton, nah,dia? dia mahasiswa, ke bioskop untuk hiburan, bukan untuk belajar, Alexa."

"Kami cuma sekali ke bioskop, Boss," ucap Alexa takut-takut. "Dia nggak akan bangkrut dengan kunjungan sekali itu."

"Kita nggak lagi bahas masalah ekonominya." Boss menatap tajam Alexa. Peringatan itu disambut Alexa dengan cara menundukkan kepalanya.

"Gue tau lu cerdas, Alexa. Tapi gue nggak nyangka kalau lu seceroboh ini." Kata-kata itu menarik Alexa untuk mendongak.

"Ceroboh kenapa lagi sih?" tanya Alexa heran. Seberapa jauh ia disalahkan oleh Boss?

"Oke, bukan ceroboh tapi gila. Setelah acara nonton di bioskop, lu mengajaknya mengikuti kursus singkat yang seluruh pesertanya adalah anak Sekolah Dasar. Helooo, dia seorang mahasiswa, tempatkan dia di tempat yang sesuai donggg," ucap Boss dengan nada suara meninggi di akhir kalimat.

"Ya mumpung gratis, Boss. Lagipula kemampuan bahasa inggrisnya nggak jauh beda dengan anak SD," jawab Alexa acuh.

"Dia adalah klien. Perlakukan dia dengan baik, dia sudah membayar banyak untuk mendapatkan jasa kita. Jangan sampai mereka merasa rugi dan akhirnya menuntut balik." Boss berevolusi cepat menjadi penasihat yang sabar.

Alexa manyun. Ia menghela napas dengan berat. "Makanya gue bilang dari dulu, gue nggak cocok jadi agen di komunitas AgpH ini."

Boss mengambil map di depan Alexa. "Kita udah membahasnya terlalu sering. Pulanglah dan atur kembali rencana lu untuk klien itu," ucap Boss sambil berbalik menuju lemari membawa map.

Alexa mendorong kursi ke belakang dengan berat tubuhnya lalu berdiri. "Suatu saat lu nggak akan bisa nahan gue lagi di tempat ini."

Boss baru berbalik setelah terdengar suara pintu tertutup. Ia mendesah lega karena Alexa tidak memperpanjang topik terakhir tadi.

Keluar? Lu nggak akan pernah keluar dari AgpH, Lexa. Batinnya.

Pintu terbuka kembali dan menampilkan Teo alias Ag3pH, agen ketiga komunitas AgpH. Cowok itu tersenyum sangat lebar hingga Boss tidak tahan untuk tidak segera menegurnya. "Dapat undian mobil, Teo?" sindirnya.

Teo berdecak sambil menghampiri Boss dan menggeser kursi lalu duduk. Kursi itu masih terasa panas karena efek dari Alexa yang duduk lama di sana tadi.

Boss berjalan ke kursinya yang ada di depan Teo setelah meja. "Melisa kemana?" tanyanya. Melisa adalah Ag4pH, agen keempat AgpH.

Teo mengangkat bahu. "Gue bukan emaknya, Boss. Jangan tanya gue."

"Iya, memangnya gue bilang lu emaknya? enggak, kan?" balas Boss. Percakapan awal mereka sudah beralih pada hal-hal yang menyebalkan. "Kalau si agen keberhasilan kemana? Dari kemarin gue suruh ke sini tapi nggak datang sampai sekarang."

Teo mendesah malas. "Gue juga bukan bapaknya, gue nggak tau, Boss," jawabnya ketus.

Boss langsung mengambil pulpen dan memukulkan benda kecil itu ke kepala Teo. "Nyebelin banget lu."

Teo meringis sambil mengusap kepalanya yang terkena pukulan cepat dari Boss. "Tadi dia datang, tapi sekarang dia pulang bareng rivalnya," jawab Teo.

Boss mengernyit. "Bareng Alexa?" tanyanya tidak percaya.

"Yappy."

Agen Patah Hati (telah terbit)Where stories live. Discover now