Esther's POV

1.9K 68 0
                                    

“jangan lupa nonton gue sama Blue malem ini di salah satu stasiun TV”, kataku melalui telepon. ‘lo sama Blue ngapain tampil di TV?’, tanyanya di seberang sana. “tau deh. Mungkin karena kita famous”, jawabku cepat. Ternyata aku narsis juga.

‘ntar gue sempetin liat deh. Tapi nggak janji ya. Lagian sekarang uda jaman maju, ada youtube. Kagak usah nonton live’, jawabannya membuatku sedikit kecewa. Sebenarnya ada yang ingin kukatakan saat siaran langsung nanti. “okay, gue tutup ya. Jangan lupa makan. Ntar lo tambah kurus kayak triplek”, ledekku agar kekhawatiranku tidak kentara. ‘iya iya, bawel. Bye!’, balas nya kemudian memutus sambungan teleponnya.

“lo kepincut beneran sama kakak gue kak?”, tanya Blue yang sedang duduk di sampingku. Kami sedang berada di ruang tunggu, duduk di depan cermin sambil menunggu wajah kami di make up. Ya, kata mereka agar wajah kami tidak pucat saat di depan kamera nanti. Kutatap pantulan Blue dari cermin. “kayaknya sih gitu”, jawabku sekenanya.

“gue sih yes kalo lo jadi kakak ipar gue”, tumben banget. “kenapa lo setuju? Biasanya lo bantah gue terus”, selidikku. “kalo lo jadi kakak ipar gue, karir gue akan lancar kayak jalan tol. Tanpa hambatan”, jawabnya cepat sambil nyengir kuda. “sialan lo! Panjat sosial lo ceritanya”, balasku malas.

“canda doang kali kak. Gitu aja ngambek. Pacar gue yang lagi PMS nggak ngambekan kayak lo, kak”, ledeknya. “berisik!”, kataku cepat. “ehem. Sekarang mode serius ya kak. Gue setuju lo sama kak Em karena gue uda kenal lo. Tau karakter lo kayak gimana. dan kak Em butuh orang kayak lo”, katanya yang membuatku menoleh. Ia menatapku serius dan memang sepertinya Blue tidak sedang bercanda.

“kak Em pernah ngalamin masa sulit setelah daddy bangkrut dan gue rasa sekarang waktunya dia buat bahagia. Kak Em yang paling bekerja keras diantara kami berempat. Kak Em nggak ngebolehin mommy daddy kerja terlalu keras karena umur mereka uda nggak muda lagi. Kalo gue, masih terlalu kecil untuk bekerja”, jelasnya menerawang jauh. “kalo gitu lo bantuin gue”, kataku cepat membuatnya bertanya-tanya.

“silakan bersiap. 2 menit lagi acara akan dimulai”, kata seorang produser di ambang pintu yang membuatku dan Blue menoleh, mencari sumber suara. Blue hanya mengacungkan jempolnya. “lo utang cerita sama gue, kak”, katanya kemudian beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendahuluiku. Tak lama acara pun dimulai. Kami disambut oleh pembawa acara kondang yang kalian pasti uda tahu siapa yang aku maksud.

Kemudian kami berbincang dan sampailah dipenghujung acara. “sebelum kita menutup acara ini, biarkan saya menanyakan satu pertanyaan. Apa yang mau kalian sampaikan untuk orang yang kalian sayangi?”, tanya Bang Deddy. “kamu alasanku untuk hidup. selalu bersamaku apapun yang terjadi. I love you”, kataku penuh harap Em bisa melihat dan mendengarnya malam ini juga. “jika keadaan diluar sana mulai sulit, tidak ada salahnya untuk pulang. Walaupun hanya sekedar makan malam”, kata Blue. Kemudian suara riuh tepuk tangan terdengar memenuhi studio.

‘ntar gue jemput’, aku mengirim pesan pada Em. Tak lama, ia pun membalasnya. ‘oke. Traktir gue makan dong’, aku tersenyum melihat balasannya. ‘tumben lo minta traktir makan. Biasanya sama yang namanya ‘makan’ aja nggak inget’, kataku sarkastik. ‘mau traktir atau enggak?’, benar-benar ini perempuan. Mana bisa aku nolak. Hahaha. ‘iya. Mau makan apa? Biar booking dulu’, jawabku dengan kecepatan mengetik yang luar biasa. ‘apa aja deh. Terserah. Lagian gue omnivora, pemakan segala’, jawabnya yang membuat bibirku tertarik keatas lagi. ‘okaaayy. See you then’, jawabku kemudian beranjak dari sofa untuk bersiap.

Setengah jam aku melajukan mobilku dan sampailah aku di depan perusahaan Em. Kulirik jam tanganku, sudah pukul 8 malam. Aku mendial nomornya. ‘lo uda di depan?’, tanyanya to the point. “iya. Buruan deh. Keburu malem”, jawabku. ‘iya iya. Kenapa lo jadi bawel sih? wait a minute’, katanya kemudian memutus sambungan teleponnya.

Aku menunggunya sambil mengetukkan telunjukku di atas kemudi. Sesekali aku melihat ke arah pintu. Senyumku langsung bungah ketika melihat seorang wanita dengan baju formal dan heels nya berjalan sedikit berlari ke arah ku.

“let’s go!”, katanya girang setelah duduk di sampingku. “seneng banget lo. Kenapa?”, tanyaku sambil melajukan mobil. “seneng banget gueeee. Lo inget tuan Albert kan? Kolega gue dari Singapore. Yang dulu pernah gue ceritain”, katanya antusias dan aku hanya mengangguk.

“dia batalin kontraknya dari Satya Food & Beverages”, sambungnya.
“kok bisa?”, tanyaku bingung. “waktu gue ke Singapore, gue yakinin tuan Albert buat percaya sama gue. Tentu aja bukan dengan tangan kosong. Gue uda bawa bukti yang kuat”, jawabnya cepat. “ooohh”, komentarku ber-oh-ria. “cuman ‘oh’ doang tanggepan lo. Sadis lo emang!”, katanya cepat tiba-tiba diam. “kalo kata lo gue jadi bawel, kalo kata gue lo jadi sensian dan ngambekan”, kataku sambil mengacak rambutnya.

“gila lo ya? Umur gue uda 27 tahun, masih lo acak-acak aja rambut gue”, pekiknya sambil menata rambutnya kembali. “sekarang kan gue traktir lo buat merayakan keberhasilan lo. Kurang apalagi coba?”, tanyaku sarkastik. “kan gue yang minta”, sahutnya. “nggak lo minta pun, kalo kita makan tetep gue yang bayar”, kataku sedikit meledeknya kemudian tertawa. “terserah lo deh. Kebetulan mood gue lagi baik, jadi gue biarin lo menang”, katanya mencoba acuh. Kemudian aku menyalakan radio untuk menghilangkan kesunyian selama di perjalanan dan sampailah kami di sebuah restoran.

“lo reservasi jam berapa? Kok bisa dapet tempat?”, tanyanya setelah kami turun dari mobil. “abis gue telpon lo tadi. Kenapa emang”, tanyaku bingung dengan pertanyaan. “resto ini itu terkenal banget dan selalu full book. Gue pernah ada meeting sama klien gue disini dan mereka bilang harus book setidaknya sehari sebelumnya”, jelasnya. Ia melirik jam tangannya sekilas.

“lo cuman book dari 2 jam yang lalu dan lo dapet tempat?”, sambungnya. Aku mengerti apa yang dimaksudkannya. “owner nya temen gue”, jawabku yang membuatnya mengangguk. “ah, pantes aja. lo lewat jalur belakang”, komentarnya kemudian berjalan mendahuluiku.

Aku sedikit berlari mengejarnya dan kemudian merangkul bahunya. Ketika masuk, kami disambut oleh seorang pelayan wanita yang cukup cantik. “liatnya biasa aja bisa?”, terdengar bisikan di telinga sebelah kiriku. “reservasi atas nama Esther Degilbert”, kataku pada pelayan wanita itu tanpa meresponnya. “nggak Victor, nggak Hilman, nggak Esther, kalo liat perempuan cantik pasti cengo”, aku mendengarnya menggerutu.

Setelah sampai di meja kami, aku mempersilkannya duduk sambil menarik kursinya. Setelah memesan dan pelayan wanita itu pergi. “kamu cemburu?”, selidikku dengan senyuman. “cemburu apaan?”, tanyanya balik dan raut wajahnya sudah kembali seperti biasa. “eh, kemaren lo liat siaran gue sama Blue nggak?”, tanyaku mengalihkan pembicaraan. “liat. Closing statement lo buat siapa emang? Kepo gue”, katanya penasaran sambil memajukan kursinya. Astaga, dia tidak peka atau pura-pura tidak peka?

“lo nggak tau beneran?”, kudapat anggukan sebagai jawaban. “kalo closing statementnya Blue gue tau, pasti buat gue. Kalo lo, gue nggak tau”, jelasnya. “kalo buat lo gimana?”, tanyaku menunggu reaksinya. “eehhmmm”, ia berpikir sejenak. “yauda”, hanya satu kata itu yang keluar dari mulutnya. Untung saja, Blue sudah menceritakan semuanya tentang Em. Termasuk masalah percintaannya dan aku mengerti.

“haduuu, singkat banget jawaban lo. Gue mau tanya nih sama lo”, kataku menatapnya. Ia menatapku balik sambil menunggu pertanyaan yang akan ku lontarkan. “kalo semisal lo dilamar, pengennya lo dilamar kayak gimana? atau mungkin seperti apa? Atau dimana gitu?”, tanyaku akhirnya. “apa ya. Pertanyaan lo susah banget. Mending gue jawab 100 soal matematika daripada jawab pertanyaan lo”, katanya setelah berpikir.

“ayolaahh, Em. Give me the answer”, pintaku. “yang jelas keluarga gue semua harus ada dan lengkap. Nggak suka gue yang private-private. Biasanya cewek sukanya yang romantis-romantis, kasih bunga atau apalah itu. menurut gue hal teromantis di dunia adalah ketika semua keluarga gue kumpul tanpa terkecuali”, jawabnya. “i can handle it”, kataku cepat penuh arti.

-------------------------------------------------------------

Haluuuuuu meet me again!!
Maaf yaa lamaa bet update nyaa. Baru nemu inspirasi nih hehe

Part ini kita kesampingkan dulu masalahnya Em. Aku mau ngasih tau progress hubungan Em sama Esther. Hope you like it {}

Yang diatas, aku mem-visual-kan pakaiannya Em yaa

Happy reading!!

AMBERLYWhere stories live. Discover now