1 . F - Jason

6.9K 684 41
                                    


Ayahku bersiul dengan santainya seraya mengemudikan mobilku. Ia tak memedulikan kekesalanku karena aku bahkan tidak memiliki kuasa atas mobil yang biasa kukendarai sehari-hari. Aku tak mengerti mengapa ayahku bersikeras untuk mengantar.

Yang benar saja. Aku berniat pergi kencan dengan seorang gadis, tapi ayahku tidak memberiku ijin menjemputnya sendiri.

"Bawa kondom?" tanya ayahku.

"Hah?"

"Apakah... kau... membawa... KONDOM?"

Astaga, apakah aku benar-benar punya ayah seperti dia? Dia mengatakan kondom lekat-lekat seolah aku ini terbelakang. Aku tak menyangka pikirannya berada di pikiranku. Tapi aku memang selalu menyediakan kondom. Itu alat darurat. Meski begitu, rasanya tidak pas mengatakan kondom mengingat siapa yang menjadi pasangan kencanku.

Aku mendengus. "Aku tidak idiot, Ayah."

Ayahku mengernyit. "Apa artinya itu?"

"Artinya, aku tidak idiot, kau tidak perlu berteriak padaku. Artinya, aku tidak idiot; ya, aku membawa pengaman. Karena aku tahu fungsi pengaman untuk keamanan. Aku ingin aman."

Ayahku menyeringai. "Jadi kau memang membawa kondom. Tapi, Nak, jangan buat masalah. Kumohon. Will akan membunuh kita berdua. Astaga. Kau tahu persis seperti apa William dan... yah... meski Emily memang menarik seperti ibunya."

"Ya Tuhan, Ayah. Aku tahu betul aku berkencan dengan siapa. Lagipula ini kencan balas dendam. Aku hanya ada di sana untuk memanas-manasi Lincoln March―" dan mungkin sedikit bersenang-senang. "Aku sudah berjanji akan membawa Emily pulang sebelum tengah malam seperti Cinderella." Yeah... Emily Archer akan jadi Cinderellan punk malam ini.

Ayahku menatapku seraya menaikkan satu alisnya, sebelum kembali fokus ke jalanan. "Jadi... Lincoln March? March? Emily naksir pemuda dengan nama belakang March? Itu aneh!"

"Ya, itu aneh. Apalagi sampai dia patah hati seperti itu. Tidak ada satu pun dari kita―para penjaga Emily―yang akan menerima itu."

Ayahku mengangguk setuju. "William, akan memburu semua March yang ada di seluruh Manhattan."

Aku tersentak dan menatap ngeri padanya. Menyadari bahwa aku salah bicara. "Ayah, tolong, jangan bilang apapun soal Linc pada Paman Will."

"Kenapa?"

Kenapa? Ya Ampun, si pirang populer itu akan gusar. Kemudian aku dan Emily akan merasa malu karena menggunakannya sebagai kambing hitam. "Ayah, percayalah pada putramu. Ini bagianku. Aku yang akan mengatasi ini. Aku tidak mau ada campur tangan siapapun. Itu... um... akan menyakitiku egoku sebagai pria yang membela Emily."

Ayahku tersenyum. "Nak, aku merasa bangga." Ia menengok pada penampilanku dengan kemeja biru pucat dan dasi warna gelap. Astaga, aku bahkan menggunakan jins. "Tapi aku masih merasa kau akan terlihat keren dengan setelan. Aku yakin masih menyimpan setelan yang ukurannya melekat di tubuhku yang bagus. Aku membanggakan tubuh tanpa lemakku. Itu akan cocok denganmu. Kita ini kurang lebih sama. Kadang, aku bertanya-tanya, jangan-jangan kau ini anak dari sekian banyak wanita yang kutiduri."

Aku tergelak. "Anggap saja begitu, Ayah."

Ayahku memarkir mobil di tepi jalan tepat di depan rumah keluarga Archer. Rumah dua tingkat yang bercat putih itu, entah bagaimana, kini membuatku gugup. Ayahku menekan alarm mobil dan mendorong tubuhku melewati pagar rumah.

"Jangan jadi pengecut," ujarnya.

"Aku gugup. Astaga. Aku tidak pernah gugup." Sekarang aku menyadari bahwa keberadaan ayahku agak membantu.

FIGHT FORDonde viven las historias. Descúbrelo ahora