1 . H - Jason

7.1K 686 21
                                    

Ketika malam mulai larut, musik yang dibawakan semakin lembut. Dansa dan goyangan dari musik RnB dan House, telah berubah menjadi lagu-lagu pop yang membahagiakan. Tanganku masih berada di punggung bawah Emily. Terkadang turun ke bokongnya, kemudian meremasnya―

Yeah, aku sekarang bisa meremas bokong Emily Archer yang telah kuidamkan.

Lengan Emily mendekapku sepanjang malam. Aku bahkan bisa mencium bibirnya, memberi kecupan pada pundaknya hingga ia (astaga!) mendesah. Itu adalah suara paling merdu yang pernah Emily berikan padaku. Kepalanya pun rebah di dadaku sementara kaki kami mengikuti alunan musik romantis.

Paman Will, sungguh, kau sedang tak berada di sini sekarang.

Malam ini hanya ada aku dan Emily. Kami sempurna.

"Hai, Bung," panggil Chad pelan. Ia sudah tiba di samping kami dengan Hilda yang bersandar padanya. Emily dan Hilda mengangkat kepala, kemudian mereka tertawa penuh arti―yang artinya hanya para gadis yang tahu. "Pestanya seru, ya?" tukas Chad. "Sayangnya kita hanya berada di tahun junior pada musim ini."

Hilda menangkup wajah Chad dan mengecup pipinya. Chad... astaga, dia merona. "Bukan masalah. Kita bisa melewati malam seperti ini lagi."

"Benar," kata Chad seraya tersenyum. Ia membawa Hilda ke pelukannya lagi. Kemudian mereka kembali berdansa. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana Chad dan Hilda bisa berputar sekaligus mengambil langkah menjauh dari kami, tanpa menabrak pasangan dansa yang lain.

Aku menatap Emily lagi. Kini ia memiringkan kepala padaku. Aku tak pernah tahu tatapan intents dari mata gelapnya bisa mempunyai efek besar bagiku.

"Pernah berpikir kalau... um, kita ketahuan?" tanyanya.

Aku menggeleng. Ketika bersamanya, aku melupakan segalanya. Aku tak tahu darimana teori itu berasal. "Kau takut ketahuan?"

Emily mengendik. "Aku hanya tidak tahu bagaimana reaksi ayahku."

"Mungkin, kita harus mencoba."

"Mencoba cari mati?"

Aku tergelak. "Kenapa tidak? Aku suka tantangan."

Emily mengernyit. "Kupikir kau tidak menantang ayahku."

"Memang." Aku tak yakin. Untuk apa pula aku menentang? Emily adalah sepupuku yang entah berasal dari silsilah mana. Paman Will akan menjadi seseorang yang hormati. Sementara Tery Walsh akan menjadi ayahku―dia lebih dari itu. Aku telah melewati usia delapan belas tapi ia tetap menginginkanku menjalani hak yang perlu kudapatkan sebagai seorang anak. Ia menguliahkanku. Ia tetap menganggapku putranya.

Aku tahu betapa ayahku bersikap sangat protektif pada Emily. Maka aku pun akan melakukan hal yang sama. Tapi rasanya, seolah aku telah melewati batas yang telah digariskan oleh seorang pelindung. Aku menginginkan lebih. Aku hanya tak tahu lebih macam apa yang kuinginkan.

"Lihat," Emily melirik ke pasangan di kiri kami yang baru saja bergabung untuk dansa. Linc March sedang berdanda dengan seorang wanita berambut ikal gelap yang tak kukenal―kukira gadis itu juga angkatan senior. Mereka saling bertatapan dan tak memedulikan sekitarnya. Dansa mereka terlihat bertempo lebih lambat dari musiknya. "Alasanmu berada di sebelah kita."

Aku menatap Emily yang terlihat geli. Ia berpaling padaku dan terpaku untuk beberapa saat. "Kau masih menyukainya?" tanyaku.

"Oh, ayolah," dengus Emily. Ia memelankan suaranya. "Siapa pula yang tidak menyukai Linc."

Sial.

"Tapi, kau tahu lah. Gadis dan karakter idaman. Yah, terserah, intinya ucapanmu benar-benar fitnah. Aku sama sekali tidak menginginkannya. Tidak sedikitpun. Aku tahu diri. Dia kemungkinan besar memang menolak, tapi ya sudahlah, aku juga tidak ingin menempatkan diriku dalam posisi itu."

FIGHT FORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang