BAB 8

212 38 4
                                    

Bab 8 is hereeee! Jangan lupa vote dan comment yaaa ❤
Happy reading!

***

Sudah sebulan hubunganku dan Nio berjalan, sejauh ini semuanya baik-baik saja, sangat baik malah. Kami masih menyembunyikan status kami di hadapan rekan-rekan kerja, karena bagi kami hubungan yang serius tidak perlu digembar-gemborkan, namun dijalani dengan sungguh-sungguh. Selain itu, alasanku pun masih sama, yaitu ingin menjaga nama baik Nio.

Nio memperlakukanku dengan sangat baik, jadwal sarapan kami pun masih berjalan seperti biasanya. Meski demikian, kami berusaha untuk tidak memancing gosip dengan tidak terlalu berdekatan di kantor. Sesekali aku dan Nio makan siang bersama rekan-rekan yang lain atau sekedar hangout setelah pulang kantor.

"Asha, kamu magangnya berapa lama lagi?" Mbak Bia bertanya padaku saat aku, Nuri dan mbak Bia sedang makan siang bersama.

"Sebulan lebih lagi mbak, gak kerasa hehe."

"Oh iya juga ya, cepet banget. Mbak mau ngasih seragam buat nikahan mbak bulan depan, semuanya sedivisi mbak kasih seragam," mbak Bia mengeluarkan 2 paper bag berisi bahan pakaian, "Ini buat kamu Nuri, tadi mbak udah kasih Elisa sama Tria juga."

"Wiiih, makasih banyak ya mbak. Abis berapa meter nih buat seragam sedivisi haha," candaku.

"Haha iya nih, soalnya calon suami ngasih jatah buat seragam."

"Wiiih enaknyaaa," Nuri heboh.

"Alhamdulillah dapet yang baik, kalian gimana?"

"Ummmm....." aku salah tingkah.

"Asha pasti ada nihhh, pipinya merah gituuu," mbak Bia menggodaku. Aduh, aku harus gimana dong? "Siapa tuh, Shaaa? Mbak kepo nih."

Aku pasrah, mau tidak mau aku membuka rahasiaku, "Tapi mbak janji jangan bilang siapa-siapa, kalo bilang nanti mbak mencret-mencret pas akad," ancamku.

Semenjak simposium di Bali aku, Nuri, mbak Bia dan mbak Utari memang menjadi sangat dekat. Namun aku dan Nuri lebih dekat dengan mbak Bia karena mbak Bia belum menikah dan mempunyai waktu luang lebih banyak dari mbak Utari.

"Astaghfirullah kamuuuu, jahat banget. Iyaaa mbak janji..."

Nuri tertawa sedangkan mbak Bia mengetuk-ngetuk kepala dan meja secara bergantian.

Aku melirik ke arah Nuri untuk meminta bantuan, sedangkan dia malah mengompori mbak Bia, "Ayooo mbak Bia penasaran nih Shaa!"

Aku memutar mataku, "Oke. Jadi.... Aku punya pacar di kantor, satu divisi..." mulaiku.

"Wahh! Kok gak ketauan! Gimana ceritanya tuh?" mbak Bia antusias mendengar ceritaku.

"Aku pacaran sama.... Sama.... Sama mas Nio."

Aku menyebut kekasihku itu dengan 'mas Nio', demi kesopanan hehe, hal itu berlaku dengan pegawai lain, kami selalu menyebut embel-embel 'mas' atau 'mbak' di depan nama mereka. Selain itu, walaupun aku sudah dekat dengan mbak Bia dan mbak Utari, kami hanya menggunakan kata 'aku' saat jam istirahat atau di luar kantor. Selebihnya kami menggunakan sebutan 'saya'.

Mata mbak Bia membola, "APAAA?" ujarnya histeris. "Kok bisaaa?"

"Ya bisa mbak, awalnya kami sarapan bareng trus lama-lama keterusan. Selama sarapan kami sering ngobrol tentang banyak hal, mungkin mas Nio ngerasa nyaman sama aku. Pas di Bali dia bilang kalo dia kagum sama aku dan juga mau serius sama aku, ya udah kita jalanin deh kayak sekarang."

Mbak Bia tersenyum senang mendengar ceritaku, "Keren kamu bisa bikin mas Nio suka sama kamu. Mbak pesen ya, jaga hubungan kalian baik-baik. Mbak tau banget mas Nio orangnya gimana, dia gak pernah macem-macem dan banyak gaya. Kamu keren bisa bikin dia kagum sama kamu." mbak Bia memberiku nasehat.

ZWISCHENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang