Flashback 2

22 1 0
                                    

Ba... bi... bu...

Aku memilih.

Kulangkahkan kakiku, lalu kemudian...

" Gadis baik nan manisku tidak akan membantah."

Aku merasakan rasa anyir yang ketara di lidahku. Mengalir dengan gemulai ke ujung bibirku. Perutku rasanya nyeri sekali. Lalu si gila itu, dia menatap kosong ke arah depan tanpa peduli pada diriku yang terbatuk-batuk dan menumpahkan darah di sampingnya.

" Gadis baik nan manisku tidak akan membantah, bukan?"

Mata itu. Mata ambigu yang sangat tidak kusuka menatapku lekat.

***

Maka disinilah kami bertiga. Aku, si gila, dan si laki-laki kecil. Dua orang itu tanpa iba menatapku, menggumamkan sesuatu yang aku tidak tahu maksudnya.

"Não?"

Lalu aku mendengar derit kaki yang menginjak lantai kayu di atas sana.

"Evan?"

Si anak laki-laki berlari menuju tangga dan meninggalkan suara berisik. Si gila itu menatapku intens. Tanpa ragu kualihkan pandanganku darinya.

Yah, memang siapa yang mau berlama-lama memandang makhluk gila itu?

" Gadisku membenciku, kenapa? Apa sejahat itu aku? Apa ada perbuatanku yang salah padamu, hm?"

Dasar sialan! Kau mengurungku disini dan kau bertanya soal apa salahmu padaku. Orang gila mana lagi yang tidak punya rasa bersalah. Psikopat?

" Tidak. Tidak. Tidak seburuk itu. Aku bukan psikopat. Aku tidak memintamu tinggal disini tanpa alasan. Aku menyayangimu, itulah kenapa."

Persetan dengan itu semua!

Si gila itu nampak menarik napasnya berat. " Aku harus apa agar kamu betah berada di sisiku, apa? Aku sudah memberimu televisi. Aku sudah memberimu radio. Kadang aku membuka ikatan di tanganmu dan mengendorkan ikatan di kakimu agar kamu bebas jalan kesana-kemari.

Aku memberimu banyak pernak-pernik. Lihat! Ada kotak musik, ada boneka, ada bando, ada rumah-rumahan, ada daraahhh."

Si gila itu menyayatkan pisau ke perutku, membuat bagian yang sudah nyeri tadi makin nyeri lagi. Aku memekik. Si gila itu menyeringai puas sambil membiarkan manik coklatnya menatap mataku.

" Disini kamu bisa main, bisa bersenang-senang. Aku memberimu lubang udara agar kamu bisa bernapas. Aku memberimu tempat empuk agar kamu tidak kesakitan. Makanan kita juga enak-enak. Biasanya bahkan aku rela pergi jauh untuk beli mie spagetti dan pentol bakso. Aku masak pasta malam-malam dan marah pada adik kecilku jika dia berbuat ribut. Aku datang sendiri padamu, membawakan makanan untukmu, menyuapimu dengan sabar walaupun kamu selalu berteriak padaku, walaupun kamu sering menendang piring dan membuat semuanya berantakan. Aku selalu mencucikan piring bekas makanmu. Aku selalu membereskan kekacauan yang kau buat. Aku selalu... selalu... selalu melakukan semuanya untukmu.

Jadi sekarang, apa yang dari perbuatanku ini salah? Apa yang seharusnya kulakukan? Apa kamu tidak suka aku? Apa kamu benci aku, kenapa? Apa yang kurang dari perbuatanku selama ini padamu?"

Si gila itu menyerocos panjang lebar. Tidak biasanya. Si gila itu bertanya padaku. Membuat aku memutar memori-memori lamaku soal, yah, soal betapa "baik"-nya ia padaku.

" Jawab," kata si gila itu dingin.

Aku, dengan mata merah dan sembab, mengangkat kepala dan menatapnya. " Kau renggut sesuatu milikku yang selalu kubanggakan," ujarku.

Jangan Berisik [HIATUS]Where stories live. Discover now