Bab 15 | Isi hati Arlan untuk Greta

35.1K 1.7K 21
                                    

Cukup lama Arlan tertidur. Greta sampai harus menahan kakinya yang mulai kebas karena tidak bisa bergerak. Tapi saat melihat wajah tenang Arlan seolah pegal-pegal di kakinya menghilang.

Ditatapnya wajah tampan itu. Dengan jarak sedekat ini, Greta bisa melihat jelas ada tahilalat di dahinya, bulu matanya sedikit lentik, alisnya standar, tidak terlalu tebal dan hidungnya mancung. Bibirnya tipis dan sedikit merah. Ah, bibir itu kemarin menempel di bibir Renata. Ada rasa tidak rela di hati Greta setiap kali mengingat kejadian itu. Tanpa sadar tangan Greta mengusap-usap pipi dan bibir Arlan.

Tapi ia menarik tangannya, saat senyum dengan lesung pipi itu muncul di wajah Arlan. Greta menjitak dahi omnya, karena sadar kalau laki-laki ini sudah terbangun sejak tadi.

"Udah bangun, Om! Pegel kaki aku."
Arlan malah tersenyum dan meraih tangan Greta. Lalu menempelkan tangan itu di dadanya. Bisa Greta rasakan dada Arlan berdebar begitu cepat. Sama seperti kondisi jantungnya saat ini. Yang berdetak cepat saat tangan Arlan mengenggam tangannya.

"Kamu seperti ini juga gak, Gre?"

"Eh? Maksudnya begini gimana, Om?" tanya Greta dengan wajah bingung. Itu beneran loh dada Arlan berdebar cepat.

"Jantung kamu, Gre? Begini juga, kah?"

Greta bingung harus menjawab apa. Mendadak tubuhnya panas dingin dan susah bernapas.

"Om, ayo bangun. Kaki aku pegel."

Arlan malah tertawa kecil lalu bangun dan bersandar di sofa.
Matanya menatap lekat wajah Greta yang kini tampak seperti kepiting rebus.

"Kenapa, Gre?" godanya, yang makin membuat gadis itu blingsatan sambil menggigit-gigit bibirnya.

"Ih Om apaan, si?" Greta menampar pipi Arlan lembut agar laki-laki itu berhenti menatapnya. Napas Greta sudah kembang kempis. Jangan sampai Greta pingsan kalau ditatap begitu lama karena kesulitan mengambil napas.

"Udah ayo," ajak Arlan.

"Ayo ke mana?"

Arlan tertawa renyah lalu menegakkan tubuhnya, dan mendekatkan wajahnya ke arah Greta.
Sontak gadis itu kembali menahan napas.

"Kamu kenapa, si? Kok aneh gitu?"

"Menurut, Om? Om itu yang kenapa? Kenapa, si! Om itu aneh banget dari tadi? Tadi dijalan marah-marah gak jelas, terus sampai sini kaya gak ada apa-apaan. Terus itu tadi kok jantung Om bisa begitu?"

Arlan kembali tertawa, ekspresi Greta benar-benar menggemaskan. Ah, kalau saja dia bukan keponakannya pasti sudah di ciumnya pipi dan bibir gadis di depannya ini.

Sementara Greta hanya menatap Arlan kesal. Arlan tidak pernah mau menjelaskan apa pun yang Greta tanyakan. Dan itu tadi, apa maksudnya dia tertawa? Padahal menurut Greta tidak ada hal lucu yang ia katakan.

"Kebiasaan deh, kalau ditanya itu gak pernah jawab," ketus Greta.

"Oke, aku jawab. Tapi nanti malam aja, ya. Biar aku bisa merangkai kata-kata," kata Arlan sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Serah deh Om, ayo kita ke makam sekarang," gerutunya sambil beranjak sebelum dia benar-benar pingsang gara-gara terlalu sering menahan napas. Arlan hanya tersenyum lalu mengikuti langkah Greta.

Makam ayah dan bunda Greta tidak terlalu jauh. Jadi mereka cukup berjalan kaki kesana.
Greta dan Arlan berjongkok di depan dua makam itu.
Seperti biasa, setiap datang ke makam kedua orangtuanya Greta pasti akan bercerita tentang banyak hal. Dari hal yang paling penting sampai yang tidak penting. Bahkan soal yang Arlan marah-marah tadipun ia ceritakan. Sampai Arlan beberapa kali mengerutkan kening dan tertawa geli dalam hati. Greta memang kuat. Padahal Arlan tahu sejak tadi
mata gadis itu berkaca-kaca. Tapi air mata itu ia tahan untuk tidak keluar sedikitpun.

I LOVE YOU, OM! (COMPLETED)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt