Chapter 19

863 50 9
                                    

Kami akhirnya menembus cermin lalu berada di sebuah ruangan berdinding merah ruby. Wanita tadi menuntun kami menuju sebuah tempat tidur. Leo berbaring di atasnya dengan wajah yang pucat . Ah, dia memang selalu pucat. Maksudku lebih pucat dari sebelumnya, sangat.

Dibanding sakit ataupun koma, dia lebih terlihat seperti mayat.

"Apa keadaanya memang seperti ini atau semakin memburuk?" tanyaku cemas. Aku tahu kedua opsi itu sama buruknya.

"Semakin buruk," ungkap wanita itu. Dia sedang mencampurkan sesuatu. "Tapi aku akan berusaha semaksimal mungkin."

Setelah mencampurkan sesuatu dalam sebuah wadah perak wanita itu kemudian membawanya ke tungku yang berada di sudut ruangan. Ia menggerakkan tangannya yang aku tidak mengerti apa maksudnya, kemudian entah bagaimana sebuah api hijau menyala dari tangannya lalu menaruhnya ke tungku semudah menaruh permen ke telapak tangan anak kecil.

Aku melongo, wanita itu terlihat sangat mahir. Seperti tokoh wizard kelas atas yang sering ada di film. Tapi ini lebih nyata dan lebih mendebarkan.

Ia sangat telaten dalam menjaga api dalam keadaan stabil. Hidungku mencium bau yang asing, seperti aroma daun mint--tapi tidak setajam itu. Tak lama cairan, atau apapun itu yang ada dalam wadah itu mendidih. Wanita itu kemudian mengangkat lalu menaruhnya di atas nampan besi.

"Ramuan ini akan membantunya memberi energi di sana"

Aku melirik ke ramuan itu dan aku sudah membencinya. bahkan hanya dengan melihat dari atas. Bentuknya seperti kotoran sapi yang diencerkan (aku tahu ini sangat menggelikan) satu-satunya yang membantu ramuan itu hanyalah aromanya.

Wanita itu menghampiri kami yang dari tadi memperhatikan kegiatannya. Ia mengangkat tangannya seperti sedang melambai lalu ramuan itu hilang seolah menguap begitu saja. Wanita itu mengepalkan tangannya lalu menaruhnya di atas mulut Leo hingga terlihat seperti sedang memasukkan sesuatu.

Leo tak bereaksi apapun.

Aku mengehela napas, kecewa. Kupikir akan terjadi sesuatu tapi nyatanya sama saja. Aku merasa kasihan pada Leo, dia harus merasakan rasanya kotoran sapi itu. Mungkin ia tak akan menyukainya jika sadar.

Rasa kasihanku terlupakan saat wanita itu jatuh berdebam ke lantai. Ia jatuh begitu saja kemudian meraung-raung tak jelas seperti sedang kesakitan. Athens mendekat sedangkan aku mejauh. Wanita itu kian menggeram layaknya seekor anjing yang berkelahi. Tubuh kurusnya kejang dan tangannya mengepal.

"Apa yang terjadi denganmu?" Athens kebingungan. Aku sendiri tak mengerti jadi yang kulakukan hanyalah mencari aman.

"Ath aku takut, lakukan sesuatu."

"Tidak." Athens menggeleng. "Mungkin ada baiknya kita biarkan saja seperti itu."

Selang beberapa waktu kemudian wanita itu perlahan-lahan kembali tenang, meski sekekali bersikap seolah ada pembunuh di hadapannya. Aku tak berani melihat, terkadang aku sendiri hampir jantungan saat ia tiba-tiba mendesis. Penyihir ini sangat menyeramkan.

"Dia bukan penyihir, tapi cenayang." kata Athens membaca pikiranku.

"Dia lebih cocok jadi penyihir."

"Kalau begitu aku harusnya jadi malaikat, bukan iblis," kata Athens. "Jangan terlalu mempercayai penampilan, dear. Itu bisa menusukmu dari belakang."

DARK WINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang