[31] Prestige

144 23 7
                                    

"Nani?"

Suara Mikhael menggema di ruangan itu. Untung saja disana hanya terdapat dirinya dan Mammon diruangan itu.

"Kau terlalu banyak menonton film bernama anime ciptaan manusia itu , bukan?"

Mikhael menyengir seperti anak kecil yang baru tertangkap basah karema terlalu banyak memakan permen. Mammon hanya menggeleng-geleng heran atas perbuatan Mikhael, tak ingat bahwa bagaimana kelakuan dirinya sendiri.

"Kenapa tiba-tiba kau bertanta tentang kemampuan apa saja yang dimiliki Luka dan Luksa dulu? Apa kau punya rencana jahat?" Mata Mikhael menyipit curiga.

"Demi Sang Pencipta, aku bahkan berani mengatakan itu. Mikhael sang Malaikat penuh Kasih. Aku bersumpah, meminta informasi itu bukan untuk kejahatan."

Mikhael masih melemparkan tatapan tak percaya pada Mammon yang kini menunjukkan dua jarinya, khas orang bersumpah.

"Kalau begitu, prove it."

"Hah?"

"Prove it!"

Mammon mengelus tengkuknya. "Kau mau aku buktikan?"

"I know you not stupid, Mammon." Mikhael melipat kedua tangannya di depan dada, sambil memasang senyum miring.

"Aku harap kau bisa mempercayainya," sahut seseorang yang tiba-tiba berteleportasi di belakang Mammon. Mikhael membulatkan mata tak percaya saat melihat sosok itu berada disana.

"Rafael, apa yang kau lakukan? You just defended... Devil?"

Rafael mengangguk pelan sambil tersenyum. "Percayalah, aku tahu apa yang hendak ia lakukan."

"Bagaimana bisa?" tanya Mikhael lagi, wajahnya kali ini tampak sangat bingung. Ia masih saja tak percaya kalau Rafael baru saja menyuruh dirinya percaya pada seorang Iblis.

"Mikhael, aku tahu jika dirimu adalah Malaikat yang paling dekat dengan Luka dam Luksa." Mammon memasang wajah memelas berharap Mikhael segera memberi jawaban atas permintaannya.

Sesuai dengan ucapannya, hanya Malaikat itu dari semua yang ada di semua alam semesta ini, yang tahu secara detail bagaimana kemampuan yang dimiliki Luka dan Luksa dulu.

Ia menghela napas panjang sejenak sebelum menjawab " All right, I'll tell you what I know."

*

"Ray, mau kemana? Sekarang lagi mendung."

Vanza bertanya saat baru saja keluar dari kamarnya untuk menuju ke dapur dan mendapati adiknya hendak keluar rumah.

"Kerumah Claressa."

"Bisa tunggu hujan reda? Bagaimana kalau kau sakit lagi?"

Ray menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "No, I can not wait anymore."

Sebenarnya Vanza ingin melarang adiknya agar tidak keluar saat ini. Tapi setelah ia mengamati Ray, ia langsung tahu bahwa adiknya itu tidak mempunyai kesabaran lagi. Percuma saja melarannya, ia akan tetap saja keluar dari rumah.

Ray keluar dan menutup pintu depan. Ia berlari dengan tergesa-gesa saat mendengar petir menyambar langit. Ia berharap sampai disana dengan tepat waktu.

Sudah terlambat. Hujan sudah mulai turun, membasahi tubuhnya. Awalnya hanya turun dengan pelan, tapi semakin lama semakin deras. Hingga seluruh tubuhnya basah kuyup disertai hawa dingin yang membuatnya menggigil kedinginan. Angin kencang meniup, badanya sampai terhuyung hampir jatuh saat tiba di depan rumah Claressa.

Soul Reaper [✔] Where stories live. Discover now