Prolog

48.9K 4.7K 223
                                    


            "Senyum bukan bagian dari kebahagianku, ini hanya sebuah persembunyian agar semesta tidak punya bahan untuk mengejek kesedihanku."

Apakah masih ada yang bersedia membaca?

Kata orang masa sekolah adalah masa paling menyenangkan, bagi Magani tidak. Satu-satunya masa sekolah yang menurut ia menyenangkan adalah TK—saat itu Magani masih terlalu kecil untuk memahami aturan apa saja yang boleh dan tidak saat bersosialisasi dengan teman. Dan sialnya Magani punya kebiasaan buruk meminta perhatian dengan cara salah

Waktu SD, Magani dipanggil si tukang bohong karena sering pura-pura sakit.

Waktu SMP, Dia si gadis biang onar dan bodoh.

Dan sekarang saat SMA, dia berubah menjadi si gadis nakal. Definisi gadis nakal yang mereka—teman-temannya sematkan pada Magani berdasarkan fakta bahwa Magani sering bermesraan dengan banyak pria seperti dia mengganti permen.

Mereka tidak pernah tahu, semua yang Magani lakukan karena dia haus perhatian. Magani selalu merasa kesepian, terutama saat di rumah. Orang tua-nya lengkap, tapi keduanya punya dunia berbeda. Bertengkar satu-satunya komunikasi yang sering mereka lakukan. Di umur tujuh belas ini, Magani jadi sering bertanya-tanya; kenapa mereka masih bersama? Mungkin akan lebih menyenangkan kalau mereka berpisah.

"Gani... Magani," panggil seorang pria dari balik punggung Magani, kekesalan terdengar jelas karena Magani tidak kunjung menoleh.

Pria itu menyerah, lalu berdiri di samping Magani sedikit membungkuk dan melipat kedua tangan di atas pembatas besi tangga, tempat Magani berdiri sedari tadi. Tempat favorit Magani untuk menyepi dengan pemandangan full lapangan basket.

"Apa sih, Cakra?" tanya Magani tanpa minat. Cakra satu-satunya orang yang betah dengannya sejak pertemuan mereka di ruang musik SMP. Entah Magani harus menyebut Cakra apa, mungkin teman-paling-lama.

"Lagi ngelihatin dia lagi?" Cakra balik bertanya.

"Nggak." Lalu terdengar dengusan dari laki-laki itu.

"Bohong." Dia menegakkan posisi berdirinya, lalu menghadap ke Magani. Sorot mata tajam Cakra mulai menyelidik, seperti biasa. "Jelas-jelas tuh mata cuman ngikuti arah pergerakkan si Renier."

"Nggak kok... gue ngeliatin orang main basket, kebetulan aja dia ada di sana main sama yang lain."

"Oh yah? Kalau emang niat nonton mah di bawah, tuh duduk di pinggir lapangan kayak yang lain atau di kantin kalau cuma mau liat permainan basket."

"Tujuan lo ke sini mau apa sih? Ganggu tahu," keluh Magani asal.

"Mau ngajak lo balik, terus makan dulu di warung si Babe. Ini udah jam empat alias udah dua jam dari jam pulang sekolah, gue kelaperan! Ah elah! Kenapa sih lo mesti putus dari si Ardi? Jadinya kan nyusahin gue lagi, anter jemput lagi, nungguin lo lagi!" oceh Cakra. "Jadi lo mau ngeliatin si Renieer sampai kapan? Sampai kiamat? Mau sekalian nginep di sekolah?" Cakra terdengar benar-benar emosi dengan Magani. "Yang diliatin aja nggak nyadar, Maganiiii!"

Cakra mengembuskan napas berkali-kali, membuat Magani sedikit jengkel .

"Gila! Gue tuh tadi ke sini dengan kondisi lapar, dan setelah gue ngeliat lo yang memperhatikan cowok yang noleh ke lo aja kagak, laper gue ilang cuyy!"

The claiming memoriesOù les histoires vivent. Découvrez maintenant